“Tradisi, Tauhid, dan Laut: Menafsir Ulang Nyadran secara Islami”

Oleh : MOH AUNUR RAIS JERUSALEM (Aggota Bidang Seni Budaya dan Olahraga Pemuda Muhammadiyah Weleri)

Setiap memasuki bulan Muharram, masyarakat pesisir di berbagai daerah Jawa, termasuk Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, rutin menggelar tradisi Nyadran atau Sedekah Laut. Tradisi ini tidak sekadar menjadi tontonan budaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan sosial yang dalam. Namun, di tengah perkembangan zaman dan meningkatnya pemahaman keagamaan, tidak sedikit yang mempertanyakan: bagaimana posisi tradisi ini dalam pandangan Islam?

Bukan Menyembah Laut, Tapi Bersyukur kepada Allah

Satu hal yang perlu diluruskan: Nyadran bukanlah upacara penyembahan laut atau pemberian sesaji kepada makhluk gaib, sebagaimana sering disalahpahami. Tradisi ini lebih tepat dimaknai sebagai sedekah kepada alam — khususnya laut, yang setiap hari menjadi sumber rezeki utama masyarakat nelayan.

Bayangkan, setiap hari kita mengambil ikan, kerang, cumi, dan hasil laut lainnya. Namun, seberapa sering kita benar-benar peduli terhadap kondisi laut? Kita jarang berpikir tentang menjaga ekosistemnya, atau bahkan sekadar bersyukur atas hasil yang kita ambil. Maka melalui Nyadran, warga “gantian memberi” pada laut, sebagai wujud kepedulian dan penghormatan kepada alam ciptaan Tuhan.

Tradisi Nyadran di Gempolsewu Rowosari Kendal

Simbolik Kepala Sapi dalam Pelarungan

Salah satu hal yang paling mencolok dalam Sedekah Laut adalah pelarungan kepala sapi atau kerbau. Mengapa kepala? Karena bagian itu mengandung protein paling tinggi dan gizi yang melimpah, dan secara budaya dianggap sebagai bagian paling “berharga” dari hewan.

Kepala sapi dilarung bukan untuk dikorbankan kepada laut, tetapi sebagai simbol pemberian terbaik kita kepada alam, agar makhluk-makhluk di laut juga bisa “merasa menerima”, seperti ikan-ikan yang kita ambil selama ini. Ini adalah bentuk siklus saling memberi antara manusia dan alam, yang mencerminkan keharmonisan.

Perspektif Islam: Tradisi yang Perlu Dimaknai dengan Bijak

Islam mengajarkan kita untuk bersyukur, menjaga lingkungan, dan berbuat baik kepada sesama serta alam. Dalam konteks itu, selama tradisi Nyadran tidak disertai keyakinan menyimpang, seperti menyembah laut atau mempercayai kekuatan selain Allah, maka tradisi ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Banyak masyarakat kini memadukan Nyadran dengan doa bersama, tahlilan, dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, agar maknanya semakin selaras dengan ajaran tauhid. Esensi utamanya tetap: berdoa kepada Allah SWT, bersyukur atas nikmat, dan memohon keselamatan bagi para nelayan dan seluruh warga desa.

Penutup: Menjaga Warisan, Memperkuat Iman

Sebagai pelajar Muhammadiyah di bidang seni budaya, saya percaya bahwa kebudayaan dan agama tidak harus dipertentangkan, tetapi bisa saling menguatkan. Tradisi seperti Nyadran bisa menjadi sarana syiar kebaikan, asal diiringi dengan pemahaman yang benar dan niat yang lurus.

Kita tidak sedang menyembah laut, tapi sedang belajar bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang tak terlihat. Kita tidak sedang memberi makan jin atau makhluk gaib, tetapi mengajak diri untuk memberi kembali kepada alam yang telah memberi banyak pada kita.

Mudah-mudahan, tradisi ini bisa terus hidup — tidak hanya sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai pengingat akan pentingnya menjaga alam, merawat budaya, dan memperkuat keimanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Comment