Satu Titik, Satu Shaf, Satu Niat

Pagi buta, Jumat 6 Juni 2025, langit Weleri seperti menyambut doa-doa. Langitnya bersih. Udaranya sejuk, dedaunan seperti tertunduk berdzikir, perlahan Lapangan Desa Sambongsari mulai dipenuhi oleh langkah-langkah yang berangkat dengan niat yang sama, bersujud bersama, di hari raya yang suci.

Orang-orang datang dari segala penjuru. Ada yang dari utara kota, dari barat desa, bahkan beberapa dari luar Kecamatan. Mereka datang membawa harapan dan kerinduan. Kerinduan akan suasana yang tak mungkin mereka dapatkan setiap hari, kebersamaan.

Pagi itu, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Weleri kembali melaksanakan sholat Iedul Adha di satu titik. Di satu lapangan. Di satu tempat yang sudah beberapa tahun menjadi saksi bisu betapa hangatnya ukhuwah itu masih terjaga.

Bertidak selaku Khotib KH. Ikhsan Intizam, Lc., M.Ag. (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal). Untaian katanya tidak keras, tapi menyusup. Ia berbicara tentang Nabi Ibrahim. Tentang pengorbanan. Tentang keikhlasan. Lalu tentang Nabi Ismail. Tentang pasrah. Tentang ridho yang tak biasa. Beberapa jamaah meneteskan air mata. Mungkin karena cerita tentang Nabi Ibrahim dan Ismail terasa sangat dekat. Mungkin karena diam-diam mereka sedang membayangkan anak-anak mereka sendiri. Atau ayah mereka sendiri.

KH. Ikhsan Intizam, LC, M.Ag

Di dapuk menjadi imam adalah Muhammad Alif Arrizqi. Santri muda dari Muhammadiyah Boarding School Weleri. Suaranya belum berat, tapi tenang. Bacaannya pelan dan jelas. Ia memimpin ribuan manusia yang berbaris rapi sekitar 36 shaf, membentang lebih dari 60 meter. Jumlah jamaah diperkirakan 5.000 sampai 6.000. Tapi terasa lebih banyak. Karena setiap wajah membawa kesungguhan. Di antara mereka, ada yang membawa anak kecil. Ada yang sudah renta. Ada yang masih duduk di kursi lipat karena tak mampu berdiri lama. Tapi semua hadir. Karena semua tahu, kebersamaan ini adalah milik bersama. Harus dijaga. Harus dirawat.

Pertanyaan kerap kali muncul, mengapa tidak membagi sholat Ied ke tiap ranting? Bukankah lebih dekat, lebih cepat?

Jawabannya sederhana, tapi penuh makna: karena kami ingin tetap bersatu.

Karena kalau sholat Ied dibagi-bagi, maka nilai syiarnya akan menyusut. Semangatnya akan tersebar. Dan yang tersisa hanya rutinitas. Muhammadiyah Weleri sudah lama sadar, bahwa yang membuat kita kuat bukan jumlah, tapi kesatuan.

Banyak ranting sebenarnya mampu menggelar sholat sendiri. Tapi mereka memilih tidak. Mereka menahan diri. Mereka mendahulukan niat untuk menyatu, dibanding keinginan untuk berdiri sendiri. Mereka percaya, bahwa ketika kita berdiri dalam satu shaf, maka yang kita bangun bukan hanya barisan, tapi kekuatan.

Di tengah masyarakat yang terus berubah, langkah seperti ini adalah anugerah. Di saat banyak komunitas saling menjauh, Muhammadiyah Weleri justru saling mendekat. Menyatu di satu lapangan. Di satu doa. Di satu harapan.

Padahal, jumlah warga Muhammadiyah di Weleri tak banyak. Hanya sekitar 10% dari total penduduk. Tapi dengan hati yang bersatu, angka itu tak jadi soal. Karena yang terasa bukan jumlahnya, tapi kehangatannya.

default

Kami percaya, selama masih ada yang rela datang dari jauh untuk bersama. Selama masih ada yang bersedia berdiri di bawah terik matahari demi satu sholat yang agung. Selama itu pula, kita masih punya harapan.

Karena selama umat ini masih mau bersatu  bahkan untuk sesuatu yang hanya setahun sekali maka masih ada cahaya yang menerangi jalan di depan kita. Semoga kita semua tetap bisa menjaga kehangatan ini. Sebab, dalam dinginnya zaman, persatuan adalah selimut terakhir yang kita punya.



B. Chairil Anwar
Foto by : Wahyu Primar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *