Pitulasan, Tumpeng, dan Ironi Uang Negara

17 Agustus 2025. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Delapan puluh tahun sejak proklamasi dikumandangkan, dan entah mengapa, setiap kali bulan Agustus datang, heroisme para pendahulu itu seakan tidak pernah benar-benar pergi. Ia muncul di setiap gang sempit, di pos ronda, di pertigaan kampung, bahkan di jalan tanah yang kadang becek kalau hujan.

Malam pitulasan tiba, seperti biasa: doa bersama, obrolan ringan, lalu nasi tumpeng yang menunggu untuk disantap. Ada bapak-bapak yang matanya berkaca-kaca saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Ada ibu-ibu yang tertawa lebar ketika anak-anak berebut duduk di depan, tapi di sudut matanya terselip air bening, entah karena terharu, entah karena ingat masa kecil dulu yang ikut lomba balap karung dan makan kerupuk gantung.

Indonesia memang aneh, tapi indah. Tidak ada negara lain yang perayaan kemerdekaannya begitu meriah sekaligus sederhana. Di Amerika, 4th of July cukup dengan pesta kembang api. Di negara-negara lain, sekadar hari libur nasional. Tapi di Indonesia, hampir setiap RT punya panggung hiburan sendiri, lengkap dengan organ tunggal, lomba joget, hingga lomba panjat pinang yang hadiahnya mie instan, panci, dan kaus oblong sisa kampanye.

Yang lebih ajaib, semua itu dibiayai sendiri. Tidak ada APBN, tidak ada APBD. Hanya kas RT, iuran warga, dan uluran tangan tetangga yang kebetulan lebih rezeki. Semuanya swadaya. Semua dari rakyat, untuk rakyat.

Di sinilah ironi itu muncul. Di tingkat kampung, rakyat rela urunan, rela menyisihkan sebagian gajinya, bahkan kadang rela menunda bayar listrik demi tumpeng dan bendera plastik kecil di depan rumah. Sementara di tingkat negara, upacara kemerdekaan bisa menghabiskan dana sampai 53 miliar rupiah di tahun 2024 lalu. Untuk tahun ini, katanya, angkanya masih belum diumumkan,tapi kita tahu, tidak mungkin lebih kecil.

Coba bayangkan, 53 miliar itu kalau dibelikan nasi tumpeng sederhana, bisa berapa tampah? Bisa berapa ribu kampung yang merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita?

Inilah wajah Indonesia. Rakyat dipaksa merayakan kemerdekaan dengan uangnya sendiri, sementara pemerintah merayakannya dengan uang rakyat. Ironi? Tentu saja. Tapi inilah kita.

Rakyat tidak pernah berhitung terlalu jauh. Mereka tidak sibuk mengkalkulasi apakah tumpeng yang dimakannya sepadan dengan iuran yang dibayarkan. Mereka hanya ingin bersama, ingin merayakan, ingin mengingat jasa para pahlawan. Mereka tidak peduli kalau pemerintahnya kadang terlalu boros dengan jargon efisiensi.

Rakyat Indonesia punya cara sendiri untuk menunjukkan cinta pada negerinya: sederhana, gotong royong, dan selalu penuh tawa. Meski kadang air mata ikut menetes di sela-sela doa.

Dan mungkin, di situlah letak kemewahan Indonesia yang sesungguhnya. Bukan pada panggung megah upacara kenegaraan, tapi pada deretan kursi plastik di bawah tenda kampung, diiringi toa masjid yang suaranya pecah, dengan anak-anak berlari-lari sambil membawa bendera kecil di tangannya.

Merdeka itu tidak hanya soal pidato presiden di Istana. Merdeka juga tentang rakyat yang masih percaya, meski sering dikecewakan. Tentang nasi tumpeng yang dimakan bersama, meski harus iuran. Tentang perjuangan yang tidak berhenti, bahkan setelah 80 tahun.

Selamat ulang tahun, Indonesia. Semoga engkau semakin dewasa, meski pemerintahmu kadang masih seperti bocah yang suka jajan seenaknya.

by : B. Chairil Anwar
Foto by detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *