Belum lama ini, publik dikejutkan oleh beredarnya sebuah video berdurasi 25 detik yang memperlihatkan seorang petugas keamanan atau satpam di kawasan industri Kendal (KIK) bertindak kasar kepada sepasang suami istri pedagang kaki lima (PKL) asal Wonorejo, Kaliwungu. Dalam video tersebut, terlihat sang satpam menendang meja jualan milik pasangan PKL tersebut saat melakukan penertiban.
Video singkat tersebut menuai reaksi keras dari masyarakat, khususnya warga Wonorejo yang merasa bahwa tindakan tersebut tidak hanya berlebihan, namun juga mencerminkan ketimpangan dalam perlakuan terhadap warga kecil yang sedang berusaha mencari nafkah.
Sebagai bentuk solidaritas dan tuntutan keadilan, warga Wonorejo mendatangi kantor manajemen KIK. Mereka meminta klarifikasi sekaligus pertanggungjawaban atas tindakan kasar yang dilakukan oleh petugas keamanan, yang disebut-sebut menjabat sebagai komandan. Aksi warga tersebut berlangsung damai, namun penuh dengan tekanan moral yang kuat terhadap manajemen KIK.
Setelah beberapa jam aksi berlangsung, aparat kepolisian dari Polres Kendal berhasil meyakinkan masa untuk membubarkan diri dengan cara yang kondusif. Mediasi pun dijanjikan, sebagai bentuk penyelesaian bersama.
Wakil Bupati Kendal, Beny Karnadi, turut memanggil pasangan PKL yang menjadi korban untuk mendengarkan langsung kronologi dan memberikan dukungan moril. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kendal akan mengawal proses ini agar tidak terjadi lagi tindakan serupa. Komitmen tersebut menjadi angin segar di tengah kegelisahan publik.
Hasil dari mediasi yang kemudian difasilitasi oleh pihak Polres Kendal menyepakati bahwa kedua belah pihak, yakni petugas keamanan dan pasangan PKL, saling memaafkan dan tidak membawa persoalan ini ke jalur hukum. Perdamaian ini tentu disambut baik, tetapi juga menyisakan sejumlah catatan penting yang tidak bisa diabaikan.
Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi terhadap warga sipil yang tidak membahayakan, adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Satpam yang melakukan penertiban semestinya menjunjung tinggi prinsip humanisme dan profesionalisme. Menjaga ketertiban tidak boleh mengorbankan martabat kemanusiaan.
Namun di sisi lain, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa aturan larangan berjualan di area tertentu juga harus dihormati. PKL memang sering berada dalam posisi sulit ditekan oleh kebutuhan ekonomi di satu sisi, dan dibatasi oleh regulasi tata ruang di sisi lain.
Inilah dilema klasik yang sering muncul di berbagai kota, benturan antara aturan dan kebutuhan. Keduanya valid, dan keduanya memerlukan pendekatan yang adil serta berkelanjutan.
Yang menjadi sorotan utama dari peristiwa ini adalah keterlambatan negara hadir dalam mengelola konflik laten antara pelaku usaha informal dan penegak ketertiban. Negara seharusnya menjadi penengah aktif yang hadir sebelum konflik meledak di permukaan, bukan hanya setelah kejadian viral di media sosial.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah dan manajemen kawasan industri memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk menyediakan solusi yang manusiawi. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruang dagang alternatif yang layak dan terjangkau bagi PKL. Kebijakan relokasi atau zonasi PKL harus dilakukan dengan pendekatan dialog, bukan pendekatan represif.
Pembangunan kawasan industri seperti KIK seharusnya memberikan manfaat tidak hanya kepada investor dan pelaku usaha besar, tetapi juga bagi warga sekitar. Keberadaan PKL sebagai bagian dari ekosistem ekonomi informal seharusnya tidak selalu dipandang sebagai gangguan, melainkan sebagai potensi yang dapat dikelola.
Negara memiliki tiga kewajiban utama dalam situasi seperti ini:
- Menjamin ketertiban kawasan industri agar iklim investasi tetap kondusif dan tata kota terjaga.
- Melindungi hak warga kecil dalam mencari nafkah, selama itu tidak membahayakan atau merugikan kepentingan umum.
- Menjadi fasilitator solusi, bukan hanya penonton pasif saat konflik terjadi.
Perdamaian antara satpam dan PKL adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak boleh berhenti di sana. Yang lebih penting adalah membangun sistem yang mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan. Dibutuhkan peraturan yang lebih inklusif, pelatihan petugas keamanan yang lebih humanis, serta kemauan politik untuk melibatkan masyarakat kecil dalam proses pembangunan.
Peristiwa di Kendal ini seharusnya menjadi refleksi kolektif bahwa dalam menjaga aturan, kita tidak boleh kehilangan rasa adil dan empati. Satpam boleh menjalankan tugasnya, tapi dengan cara yang bermartabat. PKL boleh mencari nafkah, tapi dengan tetap menghormati ruang publik. Dan negara harus memastikan bahwa keduanya bisa berjalan berdampingan, dalam sistem yang berkeadilan.
Keadilan bukan sekadar soal siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang dilindungi, dan siapa yang dibiarkan terpinggirkan.
*B. Chairil Anwar (Mantan Pedagang Kaki Lima)
Foto by mediakita.co
Penulisan dalam kalimat banyak yang membingungkan, banyak kata diulang, contoh yang, ada 3 kewajiban negara yg disebutkan hrsnya dicantumkan landasan hukumnya misal uud, perda, pergub atau dan lainya sehingga penyebutan istilahnya sama dg yg ada dlm regulasi misal warga kecil itu istilah diambil dari regulasi atau persepsi penulis.
Maaf …
Semua adalah murni opini penulis Bapak, mungkin bisa jadi salah atau mungkin juga benar. namanya juga opini. terimakasih