Mengapa Tragedi 1965 Tidak Bisa Dilepaskan Dari Konflik Agraria?

OLeh : M. Nuzulul Farqi (Staf Exekutive Majelis Wakaf dan Kehartabendaan)

Sejarah 1965 sering disajikan sebagai pertarungan ideologi yang mutlak antara komunisme dan anti-komunisme. Narasi tunggal ini begitu kuat dan terpatri dalam ingatan kolektif, membuat kita mengabaikan fakta yang jauh lebih mendalam dan fundamental: tragedi berdarah itu adalah puncak dari sengketa pertanahan yang telah membusuk selama berpuluh-puluh tahun. Jika kita berani menyingkirkan dogma yang telah lama menaungi, kita akan menemukan bahwa isu tanah bukanlah sekadar latar belakang, melainkan sumbu yang memicu ledakan konflik di akar rumput. Membaca kembali 1965 melalui lensa reforma agraria adalah langkah krusial untuk memahami mengapa luka bangsa ini masih menganga hingga kini.

Warisan Kelam Kolonial dan Janji Kemerdekaan

Akar masalah pertanahan di Indonesia dimulai jauh sebelum kemerdekaan, berakar pada kebijakan kolonial yang menancapkan ketidakadilan struktural. Pada era pra-kolonial, sebagian besar tanah diatur oleh hukum adat, di mana kepemilikan bersifat komunal dan dikelola oleh masyarakat untuk kesejahteraan bersama. Konsep hak ulayat menjadi pilar utama, menjadikan tanah sebagai entitas spiritual dan sosial, bukan sekadar komoditas ekonomi.

Namun, semua berubah drastis dengan kedatangan pemerintah kolonial Belanda. Melalui Agrarische Wet 1870, Belanda memperkenalkan domeinverklaring—sebuah doktrin hukum yang secara sepihak mengklaim semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya secara hukum Barat sebagai milik negara. Kebijakan ini menjadi alat legal bagi Belanda untuk menguasai jutaan hektar lahan, yang kemudian disewakan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Hal ini menciptakan dua sistem hukum pertanahan yang berbeda: hukum Barat untuk perkebunan dan hukum adat yang dilemahkan untuk masyarakat pribumi. Dampaknya sangat parah: segelintir tuan tanah dan korporasi menguasai lahan yang sangat luas, sementara jutaan petani pribumi hanya menjadi penggarap yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian.

Ketika kemerdekaan diraih, para pendiri bangsa menyadari bahwa pembebasan sejati tidak bisa tercapai tanpa keadilan sosial dan ekonomi. Mengakhiri warisan kolonial di sektor pertanahan menjadi prioritas utama. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Menurut banyak ahli hukum, UUPA adalah dokumen revolusioner yang didasarkan pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Inti dari UUPA adalah prinsip fungsi sosial tanah, yang menegaskan bahwa tanah tidak boleh dimonopoli dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Program landreform atau pembaruan agraria yang diusung UUPA bertujuan mendistribusikan tanah secara adil kepada petani miskin dan menetapkan batas maksimal kepemilikan lahan.

Landreform: Antara Harapan dan Aksi yang Membara

UUPA 1960 membawa harapan besar bagi jutaan petani. Namun, implementasinya tidak berjalan mulus. Pemerintah pada saat itu terbentur birokrasi yang lambat dan resistensi dari para pemilik lahan yang tidak rela tanahnya didistribusikan. Kondisi ini menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI), yang melihat isu pertanahan sebagai cara efektif untuk menggalang dukungan massa.

PKI, melalui organisasi sayapnya, Barisan Tani Indonesia (BTI), menjadikan agenda reforma agraria sebagai program utamanya. Mereka menjanjikan keadilan tanah secara langsung dan mengorganisasi petani untuk menuntut hak-hak mereka. Ketika proses pemerintah berjalan lambat, PKI dan BTI mendorong “aksi sepihak”—gerakan petani untuk mengambil alih tanah yang dikuasai secara berlebihan oleh tuan tanah. Aksi ini, yang didorong oleh ketidakpuasan mendalam, seringkali menimbulkan konfrontasi langsung.

Sengketa lahan pun tidak hanya terjadi antara petani dengan tuan tanah, tetapi juga dengan tokoh masyarakat dan ulama yang memiliki tanah wakaf atau tanah pribadi yang luas. Pergesekan ini menciptakan perpecahan yang mendalam di tingkat desa, menajamkan sentimen anti-komunis, dan mengubah isu pertanahan menjadi bom waktu politik yang siap meledak.

Membaca Kembali 1965: Ketika Konflik Lokal Menjadi Bencana Nasional

Tragedi G30S 1965 menjadi titik balik yang mengerikan. Peristiwa ini tidak hanya memicu pergolakan politik di ibu kota, tetapi juga memicu gelombang pembantaian massal di berbagai daerah, terutama di Jawa dan Bali. Narasi yang dominan selama ini adalah bahwa pembantaian tersebut merupakan perang ideologi. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kita akan menemukan bahwa konflik agraria adalah bensin yang menyulut api tersebut.

Di banyak desa, label “komunis” seringkali digunakan sebagai alat untuk melampiaskan dendam atau menyelesaikan sengketa tanah yang sudah berlangsung lama. Pembantaian massal yang terjadi bukanlah murni perang ideologi, melainkan kesimpulan brutal dari sengketa tanah. Banyak korban yang dibunuh tanpa pengadilan, di mana tuduhan sebagai “komunis” menjadi pembenaran untuk merebut kembali lahan yang sebelumnya dituntut oleh petani. Sejarawan seperti Saskia E. Wieringa mencatat bahwa di beberapa daerah, konflik agraria inilah yang menjadi pemicu utama kekerasan pasca-1965.

Akibat paling fatal dari tragedi ini adalah terbunuhnya program reforma agraria. Rezim Orde Baru yang berkuasa dengan cepat menghentikan program ini dan mencapnya sebagai bagian dari kejahatan komunis. Pembatalan program landreform pasca-1965 secara implisit didasari oleh TAP MPRS No. XXV/1966 yang melarang ajaran komunisme. Konsekuensinya, akar masalah agraria tidak pernah terselesaikan, bahkan warisan kolonial yang hendak dihapus justru kembali menguat. Di bawah Orde Baru, penguasaan lahan oleh korporasi dan segelintir elite semakin masif, meninggalkan luka yang menganga hingga kini.

Peran Ormas Islam: Melanjutkan Perjuangan yang Terhenti

Meskipun sejarah mencatat peran kompleks organisasi Islam dalam dinamika politik 1960-an, saat ini banyak dari mereka mengambil peran aktif dan konstruktif untuk menyelesaikan masalah pertanahan. Mereka berupaya mewujudkan kembali keadilan tanah yang gagal dicapai pada era 1960-an, menunjukkan bahwa rekonsiliasi sejati bukan hanya tentang meminta maaf, tetapi juga melanjutkan perjuangan.

Nahdlatul Ulama (NU), melalui lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBHNU), secara aktif mendampingi petani dan masyarakat adat dalam sengketa tanah. Misalnya, pada 2023, LBHNU terlibat dalam advokasi kasus penangkapan petani di Banyuwangi, dan pada 2018, mereka mendampingi warga dalam sengketa tanah adat di Indramayu. Bagi NU, isu pertanahan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi, sejalan dengan semangat keagamaan.

Sementara itu, Muhammadiyah juga terlibat secara nyata. Berdasarkan penelusuran, sejak 2019, Majelis Tarjih telah menyusun Fikih Agraria—sebuah panduan etis berbasis ajaran Islam untuk merespons persoalan agraria modern. Selain itu, pada 2022, Tim Hukum Muhammadiyah mendampingi petani yang bersengketa di Banyuwangi. Organisasi ini juga aktif dalam advokasi kebijakan di tingkat nasional, terlihat dari kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN pada tahun yang sama untuk mempercepat reforma agraria. Bagi Muhammadiyah, isu pertanahan adalah isu kemanusiaan dan keadilan yang harus diselesaikan.

Kedua ormas terbesar ini kini bahu-membahu dengan masyarakat sipil untuk mengurai benang kusut masalah pertanahan. Mereka menunjukkan bahwa semangat reforma agraria tidak pernah padam, justru tumbuh kembali dari kesadaran kolektif untuk menyelesaikan persoalan yang telah lama terabaikan.

Kesimpulan: Melunasi Utang Sejarah Pertanahan

Tinjauan ini menegaskan bahwa kita tidak bisa melihat tragedi 1965 secara hitam-putih. Mengabaikan dimensi pertanahan dari konflik tersebut sama saja dengan menutup mata terhadap salah satu penyebab paling mendasar. Luka dari masa lalu itu tidak akan sembuh selama ketidakadilan atas tanah masih terus berlanjut.

Membaca kembali sejarah dengan jujur adalah langkah pertama untuk melunasi utang bangsa kepada para petani dan rakyat kecil. Peran aktif ormas, masyarakat sipil, dan pemerintah saat ini adalah secercah harapan bahwa cita-cita keadilan tanah yang pernah dijanjikan akhirnya bisa terwujud. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kita akan benar-benar menuntaskan pekerjaan rumah historis ini, atau membiarkan luka-luka itu terus menganga dan siap meledak kembali? Hanya dengan komitmen politik dan kesadaran kolektif, kita bisa memastikan bahwa sejarah kelam tidak akan terulang, dan setiap jengkal tanah Indonesia benar-benar berfungsi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

Editor : B. Chairil Anwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *