Oleh : B. Chairil Anwar
Pada tahun 1979, jagat pemikiran Muhammadiyah dikejutkan oleh gagasan besar dari seorang tokoh karismatik asal Weleri, Kendal. Dialah Kyai Abdul Barie Soim, seorang ulama kelahiran Kaliwungu-Kendal dengan kedalaman ilmu dan kekuatan amal, yang keberaniannya dalam berpikir dan bertindak sering kali melampaui kebiasaan para ulama pada zamannya.
Gagasan yang ia lahirkan bukan sembarang gagasan. Ia menembus batas-batas ruang dan waktu, mencoba merumuskan masa depan zakat dalam Islam melalui pendekatan yang integratif dan komprehensif. Dalam bukunya yang berjudul Zakat Kita, Kyai Barie mencetuskan konsep zakat terpadu, sebuah gagasan revolusioner yang memandang zakat tidak secara parsial, tetapi secara menyeluruh.
Dalam pemikirannya, zakat mal tidak boleh dipetakkan atau dipisahkan menjadi komponen-komponen kecil. Semua bentuk kekayaan (amwal) harus dilihat sebagai satu kesatuan. Kata “amwal” yang merupakan bentuk jamak dari mal (harta), menjadi penegasan bahwa zakat mal mencakup seluruh kekayaan yang dimiliki umat Islam secara holistik.
Kyai Barie juga menekankan bahwa zakat dan shalat adalah dua rukun Islam yang tak terpisahkan. Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang mengiringkan perintah shalat dengan zakat, seperti dalam kalimat “wa aqimus shalata wa atu az-zakata”. Bagi beliau, mengabaikan zakat berarti meruntuhkan salah satu tiang penting dalam Islam.
Bahkan, dalam beberapa forum, beliau mengutip kisah bagaimana Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi kelompok yang enggan membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Tindakan tersebut dikenal dalam sejarah sebagai “qitalul murtaddin”, yang menunjukkan bahwa menolak zakat bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi juga pelanggaran aqidah.
Namun demikian, Tak semua gagasan besar mudah diterima. Begitu pula pemikiran Kyai Barie Soim. Dalam satu forum Muhammadiyah di Kediri, pidatonya tentang zakat terpadu bahkan disambut dengan cibiran dan diragukan untuk mematahkan semangatnya. Namun, Kyai Barie tidak goyah.
Apa yang ia alami mirip dengan yang pernah dialami Kyai Sudja, pelopor berdirinya PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) Muhammadiyah. Di masa awal, gagasan PKO juga diragukan dan dilemahkan. Tapi sejarah membuktikan: PKO kini menjelma menjadi kekuatan layanan sosial utama Muhammadiyah, melalui rumah sakit, panti asuhan, dan relawan kebencanaan yang tersebar di seluruh Indonesia.
(Sumber Lazismukendal.org)
Begitulah halnya dengan perjuangan Kyai Barie. Meski awalnya sulit, ia terus menyuarakan pentingnya zakat sebagai gerakan kolektif umat. Sebagai kelanjutan dari gagasan besarnya, Kyai Abdul Barie Soim kemudian mendirikan BAPELURZAM (Badan Pelaksana Urusan Zakat Amwal Muhammadiyah), sebuah badan resmi di bawah Muhammadiyah yang bertugas untuk menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan zakat amwal secara profesional dan syar’I, yang berbasis di Weleri.
Langkah ini merupakan bentuk konkret dari ijtihadnya dalam menghidupkan semangat zakat sebagai sistem sosial Islam. BAPELURZAM menjadi pelopor lembaga zakat Muhammadiyah sebelum adanya lembaga formal nasional.
Perlahan tapi pasti, kesadaran umat akan pentingnya zakat mulai tumbuh. Hal ini tidak lepas dari kegigihan Kyai Barie dalam berdakwah dan mensosialisasikan zakat ke berbagai lapisan masyarakat. Ia menyampaikan edukasi zakat di masjid-masjid, sekolah, hingga komunitas kecil.
Salah satu kisah heroik beliau yang tak terlupakan terjadi menjelang wafatnya. Dalam kondisi tubuh yang sangat lemah, menggigil, dan berkeringat dingin, Kyai Barie masih sempat menyampaikan presentasi tentang zakat di SMA Muhammadiyah Weleri. Sebuah perjuangan terakhir yang menunjukkan bahwa semangat dakwah beliau tidak pernah padam, bahkan hingga detik-detik menjelang ajal.
Seiring perkembangan zaman dan tuntutan regulasi nasional, BAPELURZAM kemudian bertransformasi menjadi LAZISMU (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah). Lembaga ini kini menjadi lembaga zakat nasional resmi Muhammadiyah yang modern, akuntabel, dan terpercaya.
(Foto : Lazismukendal.org)
Namun, meskipun nama dan bentuknya telah berubah, ruh perjuangan Kyai Abdul Barie Soim tetap hidup dalam setiap denyut aktivitas LAZISMU. Semangat “memberi dan melayani” yang ia wariskan menjadi filosofi dasar gerakan zakat Muhammadiyah hingga hari ini.
Tak heran jika Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah memasukkan nama Kyai Abdul Barie Soim dalam buku “100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi”, sebuah penghormatan bagi seorang pejuang zakat yang tulus, visioner, dan istiqamah dalam perjuangan.
Kini, LAZISMU telah memasuki usia ke-23 tahun. Sebuah perjalanan yang tidak sekadar tentang angka, tetapi tentang dedikasi, konsistensi, dan semangat melayani yang terus tumbuh. Dalam momentum ini, kita patut merenung dan mengingat Mbah Kyai Abdul Barie Soim, sosok visioner yang bukan hanya mewariskan lembaga, tetapi juga nilai perjuangan yang mendalam. Beliau adalah peletak batu pertama gagasan zakat terpadu dalam tubuh Muhammadiyah. Di tangan beliau, zakat tidak hanya menjadi ibadah personal, tetapi sistem sosial yang berdampak luas.
Keberanian beliau untuk berpikir besar dan bertindak tulus menjadi warisan tak ternilai. Dari BAPELURZAM yang beliau dirikan, hingga kini menjadi LAZISMU yang nasional dan modern, semangatnya tetap hidup dalam setiap program, dalam setiap donasi yang tersalurkan, dan dalam setiap harapan yang dijaga.
Semoga setiap tetes keringat dan lelah beliau menjadi amal jariyah, mengalir abadi, menerangi jalan dakwah dan sosial umat Islam.
Selamat Milad LAZISMU ke-23. Teruslah memberi dan melayani, seperti teladan Mbah Barie Soim.