Hari itu Jumat, 4 Juli 2025. Langit malam di Weleri sedikit mendung, udara agak lembap. Jalanan di Penyangkringan cukup lengang. Saya melajukan kendaraan perlahan, dengan hati yang agak cemas. Istri saya duduk di samping, wajahnya pucat. Nafasnya tampak pendek. Saturasi oksigennya sempat turun ke angka 92%. Normalnya di atas 95%. Kami tahu, itu bukan angka main-main.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, saya akhirnya masuk ke Klinik Pratama PCM Weleri. Klinik yang sebenarnya sudah saya kenal. Bahkan, saya ikut menyaksikan hari peresmiannya pada 6 April lalu. Tapi sejak peresmian itu, saya memang belum pernah masuk ke dalamnya lagi. Bukan karena lupa, bukan karena tak peduli. Tapi karena alhamdulillah, saya dan keluarga memang sedang tidak sakit. Sehat adalah rezeki paling diam-diam, dan kadang tak disadari.
Namun malam itu, saya tidak bisa menunda lebih lama.
Begitu masuk ke halaman klinik, kesan pertama langsung terasa: bersih, rapi, lapang. Tempat parkirnya luas, tidak sempit seperti kebanyakan klinik yang biasa kami datangi. Ruang tunggunya terang dan nyaman. Petugas administrasi menyambut dengan ramah, tidak bertele-tele, dan tidak membuat orang yang datang dalam keadaan panik harus menjawab terlalu banyak pertanyaan. Semua berjalan cepat dan ringkas.
Saya ikut masuk ke ruang periksa. Ingin memastikan kondisi istri, tentu. Tapi juga ingin tahu seperti apa layanan medis di tempat ini.
Kami disambut oleh dr. Sara Yulus Azmi. Sejak awal masuk, raut wajahnya tenang, sabar. Tidak terburu-buru, tidak merasa tergesa. Beliau memeriksa dengan detail, mendengarkan keluhan dengan seksama. Bahkan ketika istri saya bertanya banyak hal tentang rasa sesak, obat, dan efek sampingnya, dokter tetap melayani dengan sabar. Tidak menghakimi, tidak menggurui. Yang terasa justru suasana edukatif: dokter dan pasien berdiskusi. Ini bukan hanya soal penyembuhan fisik, tapi juga soal menenangkan hati.
Selesai dari ruang pemeriksaan, kami kembali ke ruang tunggu. Waktu itu hanya dua orang antre. Tak sampai lima menit, nama kami dipanggil untuk mengambil obat. Di bagian farmasi, petugas juga menjelaskan obat dengan sabar dan jelas: berapa kali sehari, sebelum atau sesudah makan, dan untuk gejala apa. Tidak ada yang asal tunjuk atau asal kasih bungkus.
Kemudian datang bagian yang sering bikin orang menghela napas panjang: biaya. Tapi malam itu, justru saya terdiam sejenak karena kaget. Biaya seluruh layanan hanya Rp55.000. Iya, lima puluh lima ribu rupiah. Itu sudah termasuk konsultasi dokter, pemeriksaan, obat batuk, pengencer dahak, obat penurun panas, bahkan nebulizer. Terjangkau bukan?
Di zaman sekarang, di mana pelayanan medis kadang jadi sesuatu yang mewah, saya justru menemukan tempat yang membumi. Klinik Pratama PCM Weleri ini bukan hanya tentang fasilitas bersih dan administrasi cepat. Tapi tentang niat yang tulus untuk benar-benar melayani. Ini bukan rumah sakit besar. Bukan juga klinik mahal dengan sistem antre elektronik. Tapi dari segi pelayanan, ia punya ruh yang kuat.
Klinik ini memang belum bekerjasama dengan BPJS. Tapi saya percaya, kalau pelayanannya tetap seperti ini, ramah, jujur, dan terjangkau orang akan datang. Dan kalau kelak BPJS sudah masuk, saya yakin, klinik ini akan jadi tempat rujukan utama bagi warga Weleri dan sekitarnya.
Saya hanya berharap satu hal: jangan berubah. Jangan berubah ketika pasien mulai banyak. Jangan berubah ketika beban kerja mulai bertambah. Klinik ini sudah mengawali dengan baik. Menjadi tempat yang menyembuhkan tubuh, sekaligus menenangkan hati. Dan itu lebih dari cukup. Menyehatkan dan menggembirakan.
B.Chairil Anwar