H. Arief Budiman *)
Setiap menjelang waktu shalat, ada seorang ibu sepuh berjalan pelan dari rumah menuju Musholla Putri Kedonsari. Dulunya, ini satu-satunya Masjid di kampung. Sekarang, setelah dibangun Masjid An Nur yang megah, Masjid lama ini difungsikan menjadi Musholla Putri.
Sesampai di musholla, ibu sepuh yang usianya lebih 70 tahun itu, merogoh kunci disaku, lalu membuka pintu musholla dengan pelan. Kemudian beliau melangkah masuk. Tangannya yang keriput menata sajadah satu per satu, mengibaskan debu, menggelar tempat sujud bagi para jamaah yang sebentar lagi datang. Jika masih ada waktu, beliau menyapu lantai agar tetap bersih, termasuk di sudut-sudut. Sesekali beliau menghela nafas dalam.
Orang mengenal namanyanya Mbah Siti Djito.
Beliau bukan takmir, bukan imam, bukan ustazah, bukan juga tokoh masyarakat. Beliau hanya sosok sepuh yang bersemangat ikhlas merawat musholla, mengganti petugas lama, Mbah Yami.
Mbah Siti Djito berangkat dari rumah dengan nawaitu melayani jamaah. Setiap hari. Tanpa gaji. Katanya, gajinya nanti diterima di akherat. Di usianya yang sudah senja, Mbah Siti Djito merasa masih ada kesempatan untuk beramal saleh. Untuk bekal mati.
Jika hari Sabtu pagi, selepas pengajian ibu-ibu, Mbah Siti mengambil sapu tua, menyapu teras luar yang kotor karena debu jalan.
Seseorang yang melihat beliau menyapu teras, sempat berdo’a:
“ Semoga Allah mengganjar beliau dengan pahala yang tak terhitung. Sebanyak butiran debu yang beliau sapu hari itu.”
Wallahu a’lam.
Apa yang dilakukan Mbah Siti Djito adalah contoh nyata dari hospitality masjid. Seringkali kita terpukau pada masjid yang megah, kubah mewah, menara tinggi, AC yang dingin, karpet hijau tebal dana pembangunan miliaran. Tapi itu semua belum tentu membuat jamaah merasa disambut.
Hospitality adalah pelayanan yang ramah dan hangat. Ketika seseorang merasa dihargai saat hadir di masjid, disapa ramah, bersalaman, disambut dengan senyum, dll. Itu realisasi keramah-tamahan. Hospitality bukan hanya untuk Hotel, Perbankan, Rumah Sakit, Restoran, atau pelayanan publik lain, tapi mestinya juga diterapkan di Masjid. Hospitality bukan hanya kelengkapan fasilitas, melainkan juga sikap penuh kekeluargaan.
Bayangkan jika setiap masjid ada SOP ( Standar Operasional Prosedur) :
Marbot wajib menyambut dengan wajah ceria dan ramah kepada jamaah lama atau baru. Takmir Ibu-ibu yang membantu menyediakan mukena atau sarung. Pengurus yang lain melayani jamaah lansia, musafir, atau difabel dengan pelayanan khusus.
Masjid yang seperti itu insyaallah akan dikenang, bukan karena megahnya, tapi karena kehangatannya.
Rasulullah bersabda:
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
(HR. Tirmidzi)
Masjid bukan hanya tempat suci, tapi juga tempat penuh kehangatan. Jamaah yang datang ke masjid bukan karena sudah suci — tapi justru karena sedang ingin kembali kepada Allah.
Hospitality masjid adalah menyambut bak keluarga ke setiap jamaah. Melayani dengan empati, bukan sekadar rutinitas.
Karena itu, setiap kita bisa mengambil peran sekecil apapun di masjid: membantu merapikan sandal, menyediakan air minum, ikut mengajar anak-anak membaca Al Quran, atau menyambut tamu dengan senyum dan salam.
Karena itu, sejatinya hospitality bukan tugas takmir saja. Namun panggilan bagi siapa pun yang merasa menjadi pelayan rumah Allah.
Mari kita hidupkan Masjid dengan keramahan. Sebab di zaman serba cepat dan kompetitif ini, orang butuh tempat untuk merasa tenang dan damai. Dan masjid diharapkan menjadi solusi yang nyaman dan penuh persahabatan.
Semoga kisah Mbah Siti Djito ini bisa menginspirasi kita semua. Karena siapa tahu, walaupun amalan ringan namun dilakukan dengan keikhlasan — menjadi amal jariyah yang akan membawa kita ke surga.
Wallahu a’lam.
- Penulis Anggota Takmir Masjid An Nur Weleri.