Sabtu, 10/05/2025. Malam telah menggantungkan dirinya di langit Sukorejo, tepat pukul tujuh malam ketika saya hendak pulang dari sukorjo menuju Weleri. Jalanan malam itu seperti halaman sunyi yang baru ditulisi angin sepi, tenang, dan melarutkan. Hanya beberapa kendaraan yang lewat, selebihnya hanyalah desir angin yang membawa aroma tanah basah dan bayangan pepohonan yang berdiri tanpa suara.
Di tengah sunyi yang mengambang itulah saya melihatnya, sebuah motor tua, keluaran Jepang, yang oleh orang kampung biasa disebut “Supra Bapak.” Ia tampak ringkih namun penuh tekad, seperti kisah perjuangan yang tak lagi muda namun tak pernah menyerah. Rodanya tak presisi, nggeol ke kiri dan kanan seperti menari perlahan, seolah sedang membawa beban bukan hanya tubuh, tapi juga cerita yang tak pernah sempat dituturkan.
Di atas motor itu duduk seorang lelaki paruh baya. Di belakangnya, seorang anak laki-laki, mungkin usia sepuluh atau dua belas tahun, memeluknya erat. Pelukan itu bukan sekadar cara bertahan agar tak jatuh, tapi seperti cara seorang anak menggenggam dunia kecilnya yang paling ia percaya, punggung ayah.
Motor itu melaju pelan. Begitu pelan hingga saya yang mengemudi mobil di belakangnya nyaris tak sanggup menahan diri untuk menyalip. Tapi setiap kali saya mencoba, motor itu seolah menggugurkan ruang untuk lewat. Saya sempat kesal, tapi rasa itu perlahan lenyap ketika saya menyadari sesuatu, motor itu tak menyalakan lampu. Ia gelap. Bahkan lebih gelap dari kesepian yang tinggal di kepala jomblo setiap malam minggu.
Saya pun mencoba sebuah kebodohan yang tak patut dicontoh, saya mematikan lampu mobil, hanya untuk memastikan lampu motor tersebut hidup atau mati. Dan benar saja, malam kembali utuh tanpa cahaya. Tak ada sinar dari motor di depan saya. Hanya siluet tubuh bapak dan anak, melaju di kegelapan, seperti dua tokoh dalam cerita yang belum selesai dituliskan.
Saya tak tahu apa yang menggerakkan mereka. Mungkin karena biasa. Mungkin karena terpaksa. Atau mungkin karena keyakinan yang hanya dimiliki oleh seorang ayah bahwa meski gelap, asal ia tahu jalan, anaknya akan baik-baik saja.
Saya memilih mengikuti mereka. Tak karena tak tahu arah, tapi karena hati saya tiba-tiba ingin ikut bersaksi, inilah tanggung jawab yang tak terucapkan, cinta yang tak dituliskan, dan keberanian yang tak diberi nama. Saya membiarkan cahaya lampu mobil saya menjadi cahaya pinjaman bagi motor itu. Setidaknya, malam itu, mereka tak sepenuhnya sendirian.
Di sisi kanan dan kiri motor, dua keranjang besar menggantung, seperti sayap lusuh milik burung pekerja. Saya menebak, mungkin si bapak habis berjualan, atau mengantar pesanan. Tapi saya tak pernah tahu pasti. Yang saya tahu, lelaki itu sedang menunaikan tugas mulianya, menjaga dunia kecil yang ia cintai tetap hangat dan tetap utuh, meski harus berjalan dalam gelap.
Sepanjang jalan Sukorjo menuju Weleri, saya menemani mereka dari belakang. Tak ada kata. Tak ada sapa. Hanya cahaya yang kami bagi bersama, dan keheningan yang berubah menjadi keakraban ganjil. Dan entah kenapa, saya merasa sudah dekat dengan lelaki asing itu, mungkin karena kesamaan tanggung jawab, tanggungjawab sebagai seorang suami dan ayah.
Sampai akhirnya, di Desa Sidomukti, saya menyalip perlahan. Saya membunyikan klakson pendek—semacam salam diam-diam dari satu pejuang kepada pejuang lain. Ia menoleh sebentar, lalu mengacungkan jempol. Sebuah isyarat kecil yang entah kenapa membuat dada saya terasa hangat, seperti tersentuh doa yang tak bersuara.
Malam itu saya pulang dengan perasaan penuh. Bukan karena jarak yang saya tempuh, tapi karena pelajaran yang saya bawa. Saya tak tahu siapa namanya, tak tahu rumahnya di mana. Tapi saya tahu, ia seorang ayah. Seorang suami. Seorang lelaki yang bersedia menantang gelap, hanya agar anaknya merasa aman.
Semoga Tuhan memberinya kesehatan. Semoga rezekinya lancar. Dan semoga suatu saat nanti, ia bisa membeli motor baru. Motor yang lampunya terang, rodanya lurus, dan ceritanya tak lagi harus ditulis dalam kegelapan.
Karena malam itu saya belajar, terkadang, cinta tak butuh kata-kata. Ia cukup hadir dalam bentuk seorang bapak, motor tua, dan anak yang memeluk dari belakang.
B. Chairil Anwar