Khafid Sirotudin (Ketua LP UMKM PWM Jawa Tengah)
“Ting tong…ting tong…Assalamualaikum”, suara bel rumah berbunyi.
Yanti, ART di rumah kami membukakan pintu dan mempersilakan tamu masuk.
“Assalamualaikum Bu Nana” sapa Ipung yang datang dengan Luluk, istrinya.
Ipung adalah cooker di Tritisan Coffee and Tea, salah satu usaha kecil keluarga kami.
“Waalaikum salam, wah ketekan tamu agung (wah kedatangan tamu agung)” jawab istri.
“Namung badhe ngaturi bubur suran (hanya ingin memberikan bubur suran)” kata Ipung.
Sembilan tahun Ipung bekerja sebagai cooker di warung kami. Sejak masih bekerja maupun setelah memiliki usaha mandiri saat ini, ada Dua kebiasaan yang selalu dilakukan sebagai seorang Nahdhiyin yang saleh. Pertama, “munjung” ketupat, lepet plus opor ayam kampung setiap hari raya Idul Fitri. Kedua, munjung bubur suran setiap 10 Muharam. Munjung bermakna mengunjungi dan memberikan bingkisan makanan kepada orang yang lebih tua atau kerabat dekat.
Bubur Suran merupakan tradisi berbagi makanan berupa bubur yang dilengkapi dengan lauk pauk beraneka ragam. Pada beberapa daerah di Jateng, DIY dan Jatim ada kebiasaan warga yang menyertakan Tujuh (7) macam lauk. Dalam budaya Jawa, angka 7 (Pitu) sering dikaitkan dengan “Pitulungan” yang bermakna keberuntungan atau pertolongan. Melambangkan sebuah permohonan kepada Gusti Allah agar memudahkan jalan menempuh kehidupan, terutama dikala menghadapi hal-hal yang tidak bisa direncanakan atau dikendalikan manusia.
Banyak tradisi keagamaan yang dilakukan muslim Jawa di bulan Suro (Muharam). Yang jamak dilakukan selain bubur suran, yaitu “nderes” (membaca) al-Quran berjamaah 30 juz (1 sampai 10 Muharam) di masjid dan mushola, kegiatan penyantunan anak yatim piatu dan khitanan masal. Sebagaimana rutin dilakukan Ponpes Tahfidz Quran dan mushola Nurul Jadid di dekat rumah kami. Tentu tidak melupakan ibadah puasa sunah Tasua dan Asyura (9 dan 10 Muharam) sebagaimana sunah Nabi saw.
Tradisi bubur suran menurut kami sangat baik jika dilakukan secara masif di kalangan umat Islam. Sebuah rangkaian ibadah umum (ghairu mahdhah) yang sangat indah dan memiliki implikasi sosial ekonomi bagi masyarakat. Wabil khusus umat yang berkhidmat di sektor usaha mikro dan kecil bidang pangan dan kuliner. Jika menjelang Idul Fitri (1 Syawal) berbagi zakat fitrah (makanan pokok), bulan Dzulhijjah berbagi protein hewani daging kurban, maka di bulan Muharam kita berbagi bubur suran.
Dalam perspektif teologi Al-Maun, berbagi makanan dan minuman halalan thayyiban kepada khalayak yang membutuhkan merupakan sebuah kemewahan dan perbaikan gizi tersendiri bagi sebagian masyarakat. Saya teringat “wejangan” mentor bisnis kami seorang Milyarder Mualaf Tionghoa. “Hiburan utama seorang buruh yang bekerja untuk kita itu makan enak dan gembira”. Sejalan dengan ajaran agama yang memerintahkan umatnya agar menjadi muslim yang gemar sedekah, senang berbagi dan membayar upah buruhnya sebelum keringatnya kering.
Ajaran agama juga memandatkan kita bahwa “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”. Tetapi ada saratnya, yaitu “tangane megar” (tangannya terbuka) dan “ora nggegem” (tidak menggenggam, mengepal). Sebab, meski tangan di atas tetapi jari-jemari tidak terbuka, maka bahasa gestur akan memaknai sebagai orang yang mengajak berantem, pelit, suka “njithet” (mengurangi takaran) atau “ngutil” (mencopet).
Ada teman yang tidak biasa menjalankan puasa sunah tasua dan asyura. Namun dia selalu bersedekah 50 bubur suran kepada jamaah masjid dan mushola di dekat tempat tinggalnya. Menurut keyakinannya, memberi makanan minuman (mamin) berbuka bagi Satu orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan orang itu. Jika dia memberikan 50 porsi mamin untuk orang yang berpuasa, maka akan mendapatkan pahala sebanyak pahala 50 orang yang berpuasa. Terhadap hal ini saya pernah guyonan dengan dia: “ora usah ngitung ganjaran, Gusti Allah ora sare. Malaikat Raqib lan Atid dudu koncomu dagang (tidak usah menghitung pahala, Allah Swt tidak pernah tidur. Malaikat Raqib dan Atid bukan temanmu berbisnis)”.
Saya tergerak menulis artikel ini setelah membaca isi beberapa Whatsapp Group yang berdebat kapan tanggal puasa Tasua dan Asyura yang benar. Apakah menurut KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal) ataukah ikut Kalender Pemerintah. Menurut KHGT tanggal 9 dan 10 Muharam jatuh pada hari Jumat dan Sabtu, 4-5 Juli 2025. Sedangkan menurut Kalender Pemerintah, pada hari Sabtu dan Ahad, 5-6 Juli 2025. Kami (saya, istri, anak) memilih puasa hari Jumat 4 Juli 2025 dan Ahad 6 Juli 2025.
Alasannya, kami diundang walimatul ursy (resepsi) pernikahan putranya Agung Tri Anggoro, anggota LP-UMKM PWM Jateng, hari Sabtu 5 Juli 2025, jam 11.00-13.00 di Semarang. Bagi kami, menghadiri undangan walimatul ursy dari saudara dan teman itu urusan wajib. Banyak orang Jawa yang memiliki keyakinan menikahkan anak di bulan Suro (Muharam) itu pantangan alias tidak lazim. Tetapi bagi Agung TA. “Muallaf Muhammadiyah”, adalah sebuah jihad budaya. Bahwa bulan Suro merupakan bulan yang baik untuk melaksanakan hajatan menikahkan anak.
Wallahu’alam
Pagersari, Ahad Wage 6 Juli 2025.