Oleh : B. Chairil Anwar
Ada satu narasi yang sudah jadi semacam “dzikir” harian di kalangan para dai dan pimpinan Muhammadiyah. Narasi itu berbunyi: “Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia.” Kalimat yang penuh optimisme dan kepercayaan diri. Dan mungkin memang tidak salah. Muhammadiyah memang besar. Sangat besar. Deretan amal usaha yang dimiliki bisa bikin kita takjub.
Mulai dari pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi, dari klinik kesehatan sampai rumah sakit besar, dari panti asuhan sampai pondok pesantren, dari koperasi syariah sampai BPR Syariah, semua ada. Bahkan konon, dalam waktu dekat Muhammadiyah sedang mempersiapkan kelahiran sebuah bank umum. Wah, mudah-mudahan saja nanti bank ini tidak mengalami nasib seperti masa kelam tahun 1998. Kita tentu tak ingin sejarah perbankan yang muram itu terulang, apalagi dengan embel-embel Muhammadiyah di dalamnya.
Namun, ketika berbicara tentang “kebesaran” Muhammadiyah, biasanya yang ditampilkan adalah banyaknya amal usaha dan keberhasilan kader. Tapi, ada satu hal penting yang kadang luput dari radar, jumlah massa. Nah, kalau ukurannya adalah jumlah kepala alias jumlah warga Muhammadiyah, apa iya Muhammadiyah masih bisa disebut “besar”?
Menurut data dari CNBC Indonesia Research, yang mengutip survei dari Denny JA, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tren jumlah pengikut Muhammadiyah ternyata sedang mengalami penurunan. Denny JA menjelaskan bahwa dalam dua dekade terakhir, terjadi perubahan signifikan dalam peta ormas Islam di Indonesia. NU, misalnya, mengalami lonjakan drastis dalam jumlah pengikut. Dari 27,5% pada tahun 2005, melonjak jadi 56,9% di tahun 2023. Luar biasa, bukan?
Sementara itu, Muhammadiyah justru meluncur turun. Dari yang semula 9,4% pada tahun 2005, kini tinggal 5,7% saja di tahun 2023. Kalau ini bukan penurunan, saya tidak tahu lagi mau sebut apa. Penurunan ini tentu tidak bisa dianggap angin lalu, apalagi ini menyangkut keberlanjutan dakwah dan kaderisasi.
Denny JA bahkan menyinggung bahwa salah satu penyebabnya adalah sistem kaderisasi internal Muhammadiyah. Wah, ini sudah bukan nyinyiran netizen, tapi evaluasi dari pakar survei.
Maka, data ini seharusnya bisa menjadi bahan perenungan kolektif bagi kita semua baik anggota biasa, kader fanatik, hingga pimpinan di pucuk tertinggi. Selama ini kita bangga dengan kemandirian organisasi, kita bangga bisa mendirikan ribuan amal usaha tanpa harus “mengemis” kepada negara. Tapi kalau jumlah umat yang bergabung justru menurun, kita patut bertanya: “Apakah dakwah kita benar-benar menyentuh hati umat?”
Bayangkan, para aktivis Muhammadiyah sudah siang malam rapat, bikin program dakwah, diskusi serius sampai larut malam. Tapi data berkata lain, jumlah warga Muhammadiyah menurun. Ini bukan soal siapa lebih banyak, ini soal efektivitas dakwah. Jangan sampai kita sibuk berorganisasi, tapi lupa mengorganisasi hati umat.
Betul, jumlah kepala memang tidak selalu mencerminkan isi kepala. Tapi jumlah kepala tetaplah penting, minimal sebagai indikator bahwa dakwah kita diterima. Kalau umat tidak bertambah, bisa jadi bukan umatnya yang kebal dakwah, tapi dakwah kita yang kurang menyentuh.
Penulis sendiri tidak berani berspekulasi apa penyebab utama penurunan ini. Itu butuh riset yang lebih serius, bukan cuma pakai feeling dan firasat. Tapi satu hal yang pasti, data ini cukup jadi cermin besar. Mari kita berkaca, bukan untuk berbangga diri, tapi untuk melihat apakah gerakan dakwah kita selama ini sudah benar-benar bermakna.
Jangan-jangan, kita terlalu sibuk membangun gedung, tapi lupa membangun kedekatan dengan umat. Terlalu giat mendirikan amal usaha, tapi lupa mengamalkan usaha amal. Terlalu semangat membuat program dakwah, tapi kurang semangat mendengarkan suara umat.
Sebagai warga Muhammadiyah, tentu kita bangga dengan capaian organisasi ini. Tapi rasa bangga tak seharusnya membuat kita lalai. Justru harus jadi pemicu untuk introspeksi.
Mari kita terus berdakwah, tapi jangan lupa juga mengevaluasi dakwah itu sendiri. Karena sejatinya, dakwah bukan soal banyaknya program, tapi tentang seberapa dalam pesan itu bisa masuk ke hati.