Film Pandawa: Karya yang Digerakkan oleh Niat

Di suatu pagi Ahad yang bersahaja, tepat pada tanggal 11 Mei 2025, sebuah perjalanan kecil dimulai dari tanah Weleri, tanah yang mungkin tak ramai disebut dalam sejarah film nasional, namun hari itu menjadi saksi bisu lahirnya sebuah karya bernama “Pandawa.” Bukan sekadar film, melainkan sebuah narasi kolektif tentang iman, kerelawanan, dan cinta yang tak pernah ditagih bayaran.

Film ini diproduksi oleh Kultum Sinema, unit kreatif milik Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Weleri. Dalam ikhtiar ini, Kultum sinema bersama MDMC Jawa Tengah, menghadirkan kisah-kisah sunyi dari dunia kerelawanan Muhammadiyah, kisah yang tak sering disorot, namun mengandung cahaya. Recananya Film ini akan di louncing bersamaan dengan agenda jambore Relawan Muhammadiyah  juni mendatang.

Tanpa Skrip, Tapi Tidak Tanpa Arah

Saat pena belum sempat menyusun dialog, ketika kertas belum terisi alur, film ini sudah mulai berjalan. “Padawa” telah menapaki tiga scane dari total dua puluh scane, dan sejauh ini tak ada naskah tebal yang menuntun para pemainnya. Yang ada hanyalah hati yang siap menerima peran, dan jiwa yang berserah untuk menjalani.

Sang sutradara, Sani Al-Kindi, tidak memberi skrip berlembar-lembar. Ia hanya meminta para pemain datang ke Lokasi dengan niat, bukan niatan. Lalu di tempat itulah, peran dibisikkan, dan dialog dipetik dari spontanitas. Aneh? Mungkin. Tapi begitulah ketika sebuah karya digerakkan oleh iman, bukan oleh industri.

Siapa crew utamanya? Siapa yang pegang komando? Entahlah. Selain Wahyu Primar  sang cameramen dan sang sutradara , tak ada jabatan yang tertulis. Semuanya bekerja seperti air yang tahu jalan, meski tak diarahkan. Ada yang menata tempat, ada yang menanak air, ada yang sibuk mencari properti, dan ada pula yang datang seperti penulis tanpa tahu harus berbuat apa, hanya datang saja, nanti tugas akan menanti. Lucunya, tak ada keluhan. Tak ada yang merasa bekerja lebih, atau merasa tak dihargai. Semua dikerjakan dengan wajah ringan dan hati lapang. Seolah-olah dunia ini masih bisa dijalani tanpa proposal dan honorarium. Mungkin karena memang bisa. Mungkin?

Pemeran: Bukan Aktor, Tapi Pengabdi

Seluruh pemeran “Padawa” adalah kader Muhammadiyah. Mereka bukan jebolan akademi teater, bukan pula wajah langganan sinetron. Tapi mereka menjalani peran dengan kesungguhan yang tak bisa diajarkan di sekolah seni mana pun.

Rifki Firdhaus, misalnya, memerankan seorang guru. Ia baru tahu perannya saat tiba di lokasi. Dialognya pun baru diserahkan di sana. Tapi ia menjalaninya, karena bagi kader Muhammadiyah, peran adalah Amanah bukan panggung.

Sementara para aktor besar mungkin memerlukan ruangan khusus untuk menghafal naskah dan menjaga suasana hati, para pemain di Kultum Sinema justru masih sempat memanggul tenda dan membantu tim konsumsi. Pemeran utama pun tak kebal tugas tambahan. Sebab bagi mereka, ini bukan akting, tapi pengabdian.

Sutradara Sani Al-Kindi adalah arsitek dari keheningan yang bermakna. Ia tak hanya mengatur visual, tapi juga menanamkan semangat. Bagi beliau, produksi film bukan sekadar menghasilkan tontonan, tetapi menumbuhkan kesadaran ideologis tentang Islam, tentang Muhammadiyah, tentang jejak para tokoh yang kita sebut pendiri.

Dalam film PKO, ia memercayakan peran Kyai Soedjak kepada Abdul Malik, seorang kader yang lebih dikenal karena keseriusannya dalam diam. Bukan karena ia piawai berakting, tapi karena ia memiliki kedalaman yang bisa diolah menjadi sosok. Dan entah bagaimana, sosok Soedjak hadir di dalam dirinya, seolah sejarah menitis diam-diam. Penulis sendiri pernah di percaya memerankan Kyai Ahmad Dahlan dalam film Titir. Tanpa pengalaman, tanpa jam terbang, hanya bersandar pada satu hal, keyakinan bahwa peran ini bukan tentang siapa yang paling bisa, tapi siapa yang paling ingin mengabdi.

Produksi Film Kultum Sinema bukan cerita rekaan yang menjual air mata. Ia adalah pantulan dari kisah nyata, tentang bagaimana Kyai Dahlan melelang hartanya demi dakwah. Tentang bagaimana Kyai Soedjak dicibir ketika ingin mendirikan rumah sakit. Tentang bagaimana kader-kader awal Muhammadiyah menggadaikan kenyamanan demi Islam yang lebih luas.

Melalui media film ini, kami para kru dan pemain seakan dibawa masuk ke ruang waktu yang berbeda. Kami merasakan bagaimana beratnya beban para tokoh terdahulu. Dan pada saat yang sama, kami disadarkan bahwa yang kami lakukan hari ini barangkali belum seujung kuku dari apa yang mereka tempuh dahulu.

“Pandawa” mungkin tak akan masuk nominasi festival film. Ia mungkin tidak pernah tayang di bioskop, tidak dikenal oleh para kritikus. Tapi ia lahir dari tangan-tangan yang bersih, dari hati yang jernih, dan dari niat yang utuh. Ia bukan film biasa. Ia adalah kesaksian. Bahwa dalam diam dan peluh yang tak tercatat, selalu ada perjuangan yang layak dikenang.

Nantikan filmnya….!!!!

B. Chairil Anwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *