Menari dalam Dakwah: Cahyo Lestari Budoyo dan Transformasi Tari Singo Barong

Di tengah arus globalisasi yang kian menelan budaya-budaya lokal, masih ada sosok-sosok yang dengan penuh cinta dan tekad berusaha menjaga warisan leluhur tetap hidup. Salah satu di antaranya adalah Rifki Nur Firdhaus, seorang pemuda dari Desa Penaruban, Weleri, Kendal, yang tak hanya menjadi pelestari seni tradisional, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana dakwah. Rifki adalah anggota aktif Lembaga Seni Budaya & Olahraga Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal sekaligus anggota Bidang Seni Budaya Pemuda Muhammadiyah Weleri. Lewat kelompok seni yang ia dirikan bernama Cahyo Lestari Budoyo, Rifki menunjukkan bahwa seni bisa menjadi jalan dakwah yang indah dan bermartabat.

Tari Singo Barong atau Barongan merupakan seni tradisi yang dikenal luas di daerah Weleri, Kabupaten Kendal. Tarian ini menampilkan figur seekor singa besar dengan gerak-gerik kuat dan lincah, melambangkan kekuatan dan keberanian. Tari ini biasa dipentaskan bersama iringan musik gamelan, lengkap dengan pemain jaran kepang dan tokoh-tokoh khas seperti Bujangganong atau Joko Lodro.

Sejarah Tari Singo Barong memang belum terdokumentasi dengan baik. Berbagai sumber di internet menyajikan versi yang berbeda-beda. Ada yang mengaitkannya dengan cerita rakyat serupa dengan Reog Ponorogo dari kisah Prabu Klonosewandono, ada pula yang menyebut tari ini merupakan adaptasi dari barongsai Tionghoa, sebagai bentuk semangat perjuangan rakyat melawan penjajahan di masa silam. Apa pun asal-usulnya, yang jelas saat ini Tari Singo Barong telah menjadi kesenian khas Weleri yang perlu dijaga dan dikembangkan.

Namun sayangnya, seni ini sering kali hanya dikenal sebagai pertunjukan hiburan yang penuh unsur mistis, kesurupan, dan kebisingan tanpa makna. Di sinilah Rifki mengambil peran. Ia tidak hanya mempertahankan bentuk tarian ini, tetapi juga melakukan transformasi besar terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sejak kecil, Rifki sudah jatuh hati pada Tari Singo Barong. Namun seiring kedewasaan dan penghayatannya terhadap nilai-nilai Islam, ia merasa ada bagian dari pertunjukan yang perlu diperbaiki. Ia kemudian menghapus unsur-unsur mistis dalam pertunjukan, seperti praktik kesurupan yang selama ini dianggap “wajib” dalam pementasan barongan. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan tarian kolosal jaran kepang yang menonjolkan koreografi dan keindahan visual.Menurut Rifki, seni tradisional semestinya bisa mengangkat nilai estetika dan menjadi sarana edukasi, bukan sekadar tontonan yang menegangkan dan penuh nuansa takhayul. Dengan pendekatan ini, ia berhasil menjadikan Cahyo Lestari Budoyo sebagai kelompok seni yang tidak hanya tampil atraktif, tetapi juga memberikan pesan moral yang kuat. Dalam setiap pementasan, Rifki memimpin antara 30 hingga 40 orang anggota. Meski berasal dari berbagai latar belakang, mereka semua tunduk pada satu aturan utama yang ditetapkan Rifki: tidak boleh mengonsumsi minuman keras. Ini adalah bagian dari komitmennya untuk menjaga marwah kesenian sebagai ruang yang bersih dan mendidik.

Ketika ditanya mengenai honorarium yang ia terima setiap kali tampil, Rifki hanya tersenyum. “Bagian saya hanyalah kesenangan,” jawabnya ringan. Pernyataan ini bukanlah bentuk romantisme, tetapi penegasan bahwa apa yang ia lakukan bukan semata mencari keuntungan materi, melainkan panggilan hati untuk menjaga dan menghidupkan nilai-nilai budaya sekaligus agama.

Apa yang dilakukan Rifki sejalan dengan semangat dakwah kultural yang diamanatkan oleh Muktamar Muhammadiyah, Dalam pendekatan ini, dakwah tidak harus melulu dilakukan di atas mimbar atau melalui ceramah. Seni, budaya, dan ekspresi lokal juga dapat menjadi wahana untuk menyampaikan nilai-nilai Islam yang ramah, santun, dan membumi.

Rifki adalah perwujudan nyata dari dakwah kultural itu. Ia membuktikan bahwa meski berlatar belakang organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah, bukan berarti seni tradisi harus ditinggalkan. Justru seni bisa menjadi jembatan yang efektif untuk merangkul masyarakat dari berbagai kalangan, terutama generasi muda yang mulai kehilangan keterikatan dengan budaya leluhurnya. Di zaman ketika kesenian lokal sering dikerdilkan, Rifki Nur Firdhaus tampil sebagai penjaga nilai. Ia tidak hanya menari di atas panggung, tetapi juga di atas harapan. Harapan bahwa budaya bisa hidup berdampingan dengan agama, bahwa dakwah bisa turun ke bumi dalam bentuk yang lebih indah dan merangkul. Melalui Cahyo Lestari Budoyo, ia membuktikan bahwa seni adalah jalan sunyi yang bisa membawa banyak cahaya. Dan dalam tarian Singo Barong yang ia persembahkan, kita tak hanya melihat gerakan tapi juga makna.

Oleh : B. Chairil Anwar

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Comment