Sang Maestro Marching Band Muhammadiyah Kendal

Senin, 18 Agustus 2025, sore hari. Jalan dr. Soetomo, Penyangkringan, Weleri, tampak lengang dari biasanya. Hanya beberapa kendaraan roda dua lalu-lalang. Seorang bapak dengan anaknya yang berusia sekitar 6 atau 7 tahun duduk di atas motor metik tua. Sesekali melintas beberapa mobil, juga becak yang masih setia berjuang di jalanan kota kecil ini.

Dari kejauhan terdengar dentuman drum. Pukulan snare yang tajam, bass drum yang berat, berpadu membentuk simfoni yang indah. Dari langit-langit udara sore, melodi terompet mengalun, membentuk nada lagu legendaris: “The Final Countdown”, ciptaan Joey Tempest dari band asal Swedia, Europe, yang dirilis tahun 1986.

Dari arah barat, barisan siswa-siswi Muhammadiyah Boarding School SMA Muhammadiyah Weleri melangkah tegap.Drumband mereka bergerak maju dengan gagah.Langkahnya rapi, wajahnya menebar senyum. Irama yang mereka hasilkan mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarnya.

Beberapa orang keluar dari rumah untuk menyaksikan. Pengendara memperlambat laju kendaraannya, bahkan ada yang memilih berhenti sejenak. Bukan untuk sekadar menonton, melainkan menikmati suguhan musik jalanan yang berubah menjadi orkestra lapangan.

Di belakang barisan, ada seorang pria tua. Guratan dahi mulai mengeriput, rambut sebagian memutih, langkahnya terlihat agak berat. Tapi tatapannya tajam, serius, penuh penghayatan. Sesekali teriakan keluar dari tenggorokannya yang mulai serak, memberi instruksi, memberi koreksi. Ia tidak sekadar menonton, tapi mengawal dengan jiwa dan raga.

Namanya Ali Mu’zi, usianya sudah lebih dari 60 tahun. Guru dengan puluhan bahkan jutaan pengalaman mendidik. Konon, kata murid-muridnya dulu beliau dikenal galak. Tapi begitulah guru: “digugu lan ditiru”. Galaknya bukan untuk menakutkan, melainkan untuk menempa.

Ali Mu’zi adalah Ketua PCM Weleri. Banyak orang memanggilnya “Kyai Ali Mu’zi”. Namun, dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menolak.

Saya ingat, suatu ketika dalam acara walimatul nikah di Dusun Tegalsari, beliau diminta menyampaikan mauidhoh hasanah. Saya sendiri saat itu kebetulan didapuk sebagai pembawa acara. Lazimnya, MC tentu memberi salam hormat, lalu saya menyebutnya dengan sebutan “Kyai Haji Ali Mu’zi”. Tapi apa yang terjadi? Beliau langsung mengklarifikasi di depan hadirin.
“Saya itu bukan kyai. Saya itu pelatih drumband,” katanya ringan, membuat seisi ruangan tersenyum.
Namun bagi saya, beliau tetap sosok luar biasa. Seorang guru, seorang pemimpin, dan sadar atau tidak seorang kyai sejati. Kesahajaan dan kematangan beliau dalam menakhodai Muhammadiyah Weleri selama dua periode ini sungguh patut dicatat.

Gerakan dakwah Muhammadiyah di Weleri di bawah beliau menunjukkan eksistensinya. Terakhir, Muhammadiyah Weleri baru saja meresmikan Klinik Pratama PCM Weleri lengkap dengan program jaminan kesehatan gratis untuk semua siswa di sekolah-sekolah Muhammadiyah Weleri.

Benar, eksekutor klinik bukan Pak Ali secara langsung. Tapi di situlah letak kepemimpinan, seorang pemimpin sejati adalah yang mampu membidik arah, menggerakkan umat, dan menyatukan langkah menuju tujuan.


Karena beliau selalu menolak disebut kyai, dan lebih suka dipanggil “pelatih drumband”, akhirnya kami menemukan sebutan yang lebih tepat. Pada ajang Anugerah Bintang Melati Pemuda Muhammadiyah Kendal, gelar kehormatan itu resmi diberikan:
Kata maestro berasal dari bahasa Italia, berarti guru besar atau orang yang sangat ahli. Seorang maestro bukan sekadar pandai, tapi juga: Diakui keahliannya. Tidak ada yang meragukan kepiawaian Ali Mu’zi dalam dunia drumband. Berpengaruh besar. Hampir semua sekolah Muhammadiyah di Weleri adalah hasil tangan dinginnya. Menjadi teladan, Dedikasi dan konsistensinya adalah pelajaran hidup bagi banyak orang.

Ali Mu’zi bukan hanya pelatih, bukan hanya ketua, bukan hanya guru. Ia adalah maestro seorang penjaga irama, baik dalam musik maupun dalam gerakan dakwah. Dan selama stik drum masih ada di tangannya, suara marching band Muhammadiyah Kendal tak akan pernah kehilangan nadanya.

Oleh : B. Chairil Anwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Comments

  1. Luluk Arifatul Chorida says:

    🤲🤲🤲 Berkah barokah untuk sang maestro ,sangat tepat gelar dari penulis/Mas Bagas yg cerdasss dlm menganalisa ,memang benar adanya ,dlm keseharian beliau sangat berprinsip,disiplin ,cerdas dlm segala keilmuan ,khusus dlm bidang musik beliau tdk mau asal2an,selalu membuat instrumen lagu yg akan dilatihkan kpd anak2 asuhannya dlm bermusik dg aransemen not2 angka ataupun balok dg lihaynya karna harus melatih dlm berbagai alat musik ,semangatnya luar biasa dg usia yg hampir 70 th

  2. Tika,...ibuke mas yanuar 🙏🙏 says:

    Waow…..beliau sangat luar biasa dibidang musik maupun keagamaan, piyantunya apikan tegas saya suka tausiyahnya meski ringan mudah dipahami dan selalu ada gaya lucunya meski sedikit menyindir tapi itulah ciri khasnya bapak Ali Muzi suami dr ibu Luluk,….hidup P Ali….merdeka ✊💪👍🏽🙏