Financial Freedom Ala Wong Jowo

Oleh: B. Chairil Anwar

Di era modern yang penuh hiruk-pikuk ini, istilah financial freedom atau kebebasan finansial menjadi impian banyak orang. Kata-kata itu kerap muncul di seminar bisnis, konten motivasi, hingga linimasa media sosial. Gambarannya jelas: seseorang yang sudah tidak perlu bekerja keras, namun tetap bisa hidup nyaman dari pendapatan pasif yang mengalir deras entah dari investasi, properti, saham, atau bisnis yang berjalan otomatis. Hidup bebas, jalan-jalan keliling dunia, ngopi di pagi hari tanpa pusing mikir cicilan rumah atau angsuran kendaraan.

Namun, di balik euforia modern itu, saya teringat akan sebuah kebijaksanaan yang tumbuh tenang dalam budaya Jawa. Kebijaksanaan yang mungkin tak banyak dirayakan, namun telah hidup dan mengakar dalam laku hidup para leluhur kita, financial freedom versi wong Jowo.

Orang Jawa zaman dulu, mungkin tak kenal istilah investasi saham atau portofolio properti. Tapi kalau kita perhatikan cara hidup mereka, ada sebuah kesederhanaan yang mengandung kebebasan sejati. Mereka hidup dari hasil bumi sendiri, sawah yang luas, kebun yang rimbun, dan hewan ternak yang mencukupi. Rumah mereka mungkin tidak bertingkat atau mewah, namun lumbung padinya tak pernah kosong. Di hari raya, mereka masak opor dari ayam peliharaan sendiri, dan saat Idul Adha, mereka berkurban dari kambing atau sapi yang diternak dengan sabar.

Hidup mereka tidak bergantung pada utang. Anak-anak banyak, namun dibesarkan dengan nilai kerja keras dan hidup cukup. Berangkat haji? Tak perlu dana talangan atau mencicil bertahun-tahun. Banyak yang bisa berangkat dengan tenang, hasil menabung sedikit demi sedikit. Tanpa drama.

Bukankah itu sebenarnya bentuk financial freedom? Mereka tidak “bebas secara finansial” dalam definisi dunia modern, tidak punya rekening berisi ratusan juta atau aset menggunung. Tapi mereka bebas dari cemas, dari utang, dari tekanan hidup. Mereka hidup dalam prinsip sederhana namun dalam, narimo ing pandum. Menerima apa yang menjadi bagian kita dengan syukur dan ikhlas.

Sekarang, mari kita tengok kehidupan modern. Katanya lebih maju. Tapi nyatanya, rumah masih KPR, motor masih kredit, naik haji pakai dana talangan, bisnis dijalankan dari utang pinjaman. Berangkat kerja tergesa-gesa, pulang larut, tekanan kerja tinggi, stres meningkat. Bahagia harus ditunda menunggu gaji naik, mobil baru, liburan mewah. Hidup seperti dikejar terus oleh keinginan yang tak pernah selesai.

Barangkali, kita salah memahami arti kebebasan finansial.

Financial freedom menurut orang Jawa bukanlah bebas dari bekerja, tapi bebas dari keterikatan pada keinginan berlebihan. Mereka bekerja, iya. Tapi tidak “dikerjai” oleh pekerjaan. Mereka tidak mengejar kehidupan, tetapi menjalaninya.

Gus Baha’ dalam salah satu ceramahnya mengurai makna financial freedom dengan pendekatan tasawuf: kebebasan finansial bukan saat kita punya semua hal yang kita inginkan, tapi saat kita mampu tidak menginginkan semua hal. Bukan saat kita membeli rumah besar atau mobil mewah, tapi saat hati kita tidak tergantung pada benda-benda itu untuk merasa cukup.

“Kalau bahagia harus menunggu punya mobil,” kata Gus Baha’, “maka standar bahagiamu sedang dikendalikan oleh mobil itu.” Padahal, kebahagiaan mestinya tumbuh dari dalam, dari kesadaran. Kalau harus menunggu “nanti” untuk bahagia, kita akan terus menjadi budak dari keinginan kita sendiri. Maka, lanjut Gus Baha’, bahagialah sekarang saja dengan yang ada, dengan hidup yang kita jalani saat ini.

Bukan berarti orang Jawa anti-kemajuan. Justru sebaliknya, mereka sangat adaptif dan pekerja keras. Tapi mereka tahu, kemajuan sejati adalah yang tak mengorbankan batin. Mereka mengajarkan bahwa kebebasan finansial bukan tentang berapa banyak harta yang dikumpulkan, tapi tentang sejauh mana kita bisa hidup merdeka dari tekanan gaya hidup.

Dalam dunia modern yang serba cepat dan kompetitif, kita mungkin perlu jeda. Menengok ke belakang. Belajar dari cara hidup para leluhur. Mereka tak punya gelar finansial atau literasi ekonomi tinggi. Tapi mereka punya nilai-nilai hidup yang tak lekang oleh zaman yaitu cukup, syukur, kerja keras, dan ikhlas.

Mungkin, dari sanalah financial freedom yang sejati berasal.

foto by : netralnews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *