Jika Muhammadiyah Berhenti Melayani

Oleh : Bagas Chairil Anwar (Annggota Pimpinan Ranting Karanganom-Weleri)
Judul buku itu sederhana, namun mengusik, “Jika Muhammadiyah Berhenti Melayani.”
Penulisnya, Khafid Sitotudin, bukan orang sembarangan. Ia menulis bukan sekadar untuk mengisi rak perpustakaan, tapi untuk mengajak kita berpikir lebih dalam tentang sesuatu yang seringkali kita anggap biasa pelayanan tanpa pamrih dari Muhammadiyah.

Sebagai pembaca sekaligus bagian dari komunitas yang mengenal dan menyaksikan langsung kerja-kerja dakwah Muhammadiyah, saya merasakan getaran yang dalam. Judulnya memang provokatif. Tapi justru di sanalah kekuatannya. Bukan sebagai ancaman, bukan pula sebagai keluhan. Ia hadir sebagai satire halus, ironi penuh kesadaran, dan ajakan untuk tidak terlena. Sebuah kritik terbalik. Karena sejatinya, tidak akan ada “jika” dalam kamus Muhammadiyah untuk urusan melayani. Melayani adalah napasnya. Memberi adalah nadinya. Berkhidmat adalah identitasnya.
Tapi mari kita bermain-main sebentar dengan andai-andai itu,
Bagaimana jika Muhammadiyah benar-benar berhenti melayani, walau hanya untuk sementara?

ANtrian Pasien Rawat Jalan RSI Muhammadiyah Kendal
(Foto dok : Wimar)


Di Bidang Kesehatan, Kepanikan Massal Bisa Terjadi
Di Kabupaten Kendal saja, Muhammadiyah memiliki lima rumah sakit aktif. Semuanya bukan rumah sakit kecil. Masing-masing memiliki layanan unggulan. Salah satu di antaranya memiliki fasilitas hemodialisa (cuci darah) yang digunakan oleh ratusan pasien setiap harinya. Pasien-pasien ini tidak bisa menunda pengobatan. Tidak bisa absen sehari pun.

Coba bayangkan jika layanan itu tutup dua hari saja. Seratus lebih pasien gagal ginjal akan kelimpungan. Tidak ada tempat lain yang bisa menampung dalam jumlah sebanyak itu secara mendadak. Rumah sakit pemerintah akan kewalahan. Klinik swasta belum tentu memiliki alat. Lalu ke mana mereka harus pergi?

Belum lagi pelayanan ibu hamil, anak-anak dengan penyakit kronis, pasien lansia yang kontrol rutin, pasien IGD yang datang setiap hari semuanya bergantung pada kehadiran rumah sakit Muhammadiyah. Dalam banyak kasus, rumah sakit Muhammadiyah bahkan menjadi pilihan utama, bukan alternatif.

Artinya: jika Muhammadiyah cuti, bukan hanya pasien yang terdampak. Sistem pelayanan kesehatan lokal bisa lumpuh seketika.

Siswa-Siswi SMK Muhammadiyah 3 Weleri


Di Bidang Pendidikan: Ribuan Anak Akan Terlantar
Muhammadiyah di Kendal memiliki puluhan sekolah setingkat SMP dan SMA, serta ratusan sekolah tingkat TK dan SD. Jumlah ini lebih banyak dari sekolah negeri di beberapa kecamatan.

Muhammadiyah tidak hanya mendidik anak-anak warga Muhammadiyah. Mereka mendidik siapa saja. Anak-anak dari berbagai latar belakang, termasuk yang berasal dari keluarga tidak mampu. Bahkan banyak dari mereka yang bersekolah tanpa dipungut biaya penuh, atau mendapat subsidi silang melalui gerakan filantropi internal Muhammadiyah.

Jika seluruh sekolah itu berhenti beroperasi sehari saja ada ribuan siswa yang akan kehilangan ruang belajar. Mereka akan kehilangan guru-guru mereka. Kehilangan sistem pendidikan yang terbukti menyatu dengan nilai moral dan akhlak.

Dan jika hal itu berlangsung lebih lama? Maka akan terjadi krisis pendidikan. Anak-anak tidak tahu ke mana harus pindah. Sekolah negeri terbatas. Swasta lain belum tentu mampu menggantikan kualitas dan kapasitas yang ditinggalkan.

Ambulance Lazimu KL Weleri Memberi Layanan ANtar Jenazah
Foto dok : Abi Wibowo


Ambulans Lazismu: Lebih dari Sekadar Mobil dan Sirine
Laporan Layanan Ambulans Lazismu Kendal yang di publikasi oleh akun resmi Instagram  lazismu Kendal mencatat 292 layanan dalam sebulan. Rinciannya: 158 layanan dalam kota, dan 134 layanan luar kota.

Mari kita hitung:
– Jika layanan dalam kota memerlukan biaya operasional Rp200.000, dan
– Luar kota sebesar Rp500.000,
maka dibutuhkan sekitar Rp98 juta per bulan hanya untuk operasional ambulans.

Dan itu bukan dari APBD. Bukan dari Kementerian. Bukan dari pajak. Bukan dan dana Hibah, Tapi dari umat, dikelola oleh Lazismu. Sebagian besar armada itu tidak berbayar alias gratis bagi masyarakat yang membutuhkan.

Bayangkan jika ambulans itu “pamit” dua minggu. Bagaimana jenazah bisa diantar ke luar kota? Bagaimana pasien darurat bisa dirujuk ke rumah sakit provinsi? Bagaimana ibu-ibu hamil bisa melahirkan dengan aman?

Muhammadiyah bergerak tanpa menunggu perintah. Ia hadir bukan karena dipanggil, tapi karena merasa bertanggung jawab.

Muhammadiyah Tidak Pernah Libur
Pertanyaannya, mengapa Muhammadiyah tidak pernah berhenti?
Jawabannya sederhana tapi dalam, karena melayani adalah ibadah. Itulah teologi Al-Ma’un, warisan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan yang tidak berhenti pada mimbar, tetapi hidup dalam rumah sakit, sekolah, ambulans, panti asuhan, dan dapur umum. Teologi yang tidak mengajarkan cukup untuk sholat dan ngaji, tapi juga menolong anak yatim, memberi makan fakir miskin, dan membela yang lemah.

Muhammadiyah tidak hadir untuk gagah-gagahan. Ia tidak memburu kekuasaan. Tidak memburu kamera. Tapi ia tahu bahwa tugas kemanusiaan adalah bagian dari amanah keimanan.

Maka tidak berlebihan jika saya katakan: kalau Muhammadiyah berhenti, yang bingung bukan mereka tapi kita.

Buku Khafid Sitotudin adalah pengingat. Ia ingin menyadarkan kita agar jangan terbiasa menganggap biasa hal-hal luar biasa. Pelayanan Muhammadiyah hari ini sering dianggap sebagai kewajaran. Tapi andai itu hilang, kita baru akan sadar bahwa apa yang kita anggap wajar itu sebenarnya penopang hidup bersama.

Maka tulisan ini bukan untuk memuji Muhammadiyah. Tapi untuk mengajak merenung, apakah kita sudah ikut menjaga, membantu, dan memperkuat kerja-kerja pelayanan ini? Atau kita hanya jadi penonton yang datang saat butuh dan pergi setelah dibantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *