“Kendal di Persimpangan: Antara Tambang dan Kehidupan”

Oleh: B. Chairil Anwar

Sejak tahun 1967, perut bumi Papua telah dibelah oleh tambang emas raksasa bernama Freeport. Janji demi janji dilontarkan, pembangunan, lapangan kerja, pendidikan, rumah sakit, dan tentu saja kesejahteraan. Tapi hampir enam dekade kemudian, Papua masih berdiri sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Tanah yang kaya, tetapi rakyatnya tidak.

Apakah ini bukti kegagalan pembangunan? Ataukah bukti bahwa pembangunan yang dimaksud bukan untuk mereka, tapi untuk yang jauh di atas sana?

Apa yang terjadi di Papua bukan pengecualian. Ia adalah pola. Pola sistematis dari cara pandang kita terhadap alam, terhadap pembangunan, terhadap siapa yang berhak atas tanah, air, dan udara. Dan pola itu kini mulai tampak jelas juga di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Di Kecamatan Brangsong, warga baru-baru ini turun ke jalan. Mereka bukan menuntut gaji ke-13, bukan pula protes kenaikan harga beras. Mereka menuntut satu hal yang sangat mendasar, berhenti merusak tanah kami. Mereka menuntut tambang galian C dihentikan. Karena yang mereka hadapi bukan sekadar tumpukan batu atau gundukan tanah, tapi kerusakan ekologis yang merembet ke banyak aspek kehidupan.

Warga Tunggulsari-Kec. Brangsong Menggelar Unjuk Rasa Penolakan Tambang

Air mulai tercemar, jalan-jalan desa rusak dilindas truk-truk tambang, kualitas udara yang buruk karena debu, dan lahan pertanian mulai kehilangan produktivitasnya. Ironisnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sektor pertambangan hanya menyumbang 1,18% terhadap perekonomian Kendal. Sebuah angka kecil yang tak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.

Di balik tambang, ada sebuah ideologi besar yang bekerja tanpa henti, kapitalisme ekstraktif. Sebuah cara pandang yang melihat bumi semata sebagai sumber daya untuk dikeruk, bukan sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga. Gunung dianggap sebagai nikel. Hutan dianggap sebagai sawit. Laut dianggap sebagai batu bara. Tanah dianggap sebagai konsesi. Bukan sebagai rumah. Bukan sebagai pusaka. Hanya angka dalam laporan keuangan.

Dalam sistem ini, hutan bukan rumah bagi burung dan manusia, tapi ladang keuntungan. Sungai bukan tempat bermain anak-anak desa, tapi saluran limbah. Dan tanah yang seharusnya sakral menjadi objek lelang yang paling murah di hadapan modal.

Dalam salah satu episode program Rosi yang tayang di Kompas TV, Iqbal Damanik aktivis lingkungan yang juga dikenal sebagai pengamat isu pertambangan mengungkapkan sebuah kenyataan pahit: belum ada satu pun konsesi tambang di Indonesia yang berhasil mengembalikan lahan bekas tambangnya ke ekosistem awal. Kalimat ini bukan hanya pernyataan, tetapi juga pukulan telak terhadap wacana tambang berkelanjutan yang selama ini digaungkan.

Bekas tambang yang seharusnya direklamasi, justru lebih sering dibiarkan menjadi cekungan tak bertuan. Air yang menggenang di dalamnya berwarna hijau toska, pertanda adanya residu kimia yang membahayakan. Bukan tempat tumbuhnya kehidupan baru, melainkan potensi bencana ekologis yang mengintai dalam diam. Ironis, karena ketika tambang ditambang, janji pemulihan lingkungan biasanya turut dikampanyekan.

Kita harus jujur pada kenyataan bahwa di zaman modern ini, kita tidak bisa sepenuhnya menolak keberadaan industri tambang. Kebutuhan akan logam dan mineral terus meningkat, seiring berkembangnya teknologi dan kebutuhan infrastruktur. Namun, modernitas bukan hanya tentang kemajuan teknologi, tetapi juga tentang nilai-nilai peradaban. Sudah seharusnya pertambangan dikelola secara beradab dan berkelanjutan, bukan semata-mata mengejar keuntungan ekonomi sesaat, tetapi juga menjaga kesinambungan ekologis dan sosial jangka panjang.

Pernyataan Iqbal menjadi refleksi penting: Evaluasi besar-besaran harus dilakukan. Bukan hanya kepada pemerintah sebagai regulator, atau kepada perusahaan tambang sebagai pelaksana, tetapi juga kepada masyarakat sebagai pihak yang terkena dampaknya secara langsung maupun tidak langsung.

Bekas Tambang Galian C
(Sumber : www.suara.com)

Sudah saatnya kita bergeser dari paradigma “eksploitasi” menuju “restorasi”. Tambang bukan hanya harus menghasilkan, tetapi juga harus mampu mengembalikan. Harus ada mekanisme tegas dan transparan yang memastikan bahwa setiap lubang yang digali akan kembali ditutup, setiap pohon yang ditebang akan kembali ditanam, dan setiap kerusakan yang ditimbulkan akan dipulihkan.

Karena sejatinya, bumi bukan hanya warisan dari leluhur, tetapi titipan bagi anak cucu. Jika kita tidak bisa mengembalikan seperti semula, paling tidak jangan sampai kita meninggalkan luka yang tak tersembuhkan.Top of FormBottom of Form

Kita harus menghindari paradigma Jangan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah segalanya. Bahwa angka-angka di laporan tahunan lebih penting daripada suara anak-anak yang kehilangan akses air bersih. Bahwa demi “investasi,” masyarakat harus belajar menerima debu, kebisingan, dan kerusakan lingkungan sebagai harga yang normal. Padahal, pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan bukanlah pembangunan. Ia hanyalah perusakan yang legal.

Sudah saatnya industri tambang di Kabupaten Kendal di kaji ulang dengan langkah strategis yang dapat menjadi narasi penyelesaian. Kita sedang tidak menolak Pembangunan, Barangkali kita sudah terlalu lama percaya bahwa pembangunan adalah soal jalan aspal, gedung tinggi, dan truk pengangkut batu. Tapi tanah tidak sekadar tempat berpijak, ia adalah memori, adalah kehidupan, adalah warisan sakral.

Maka jika kita ingin menyebut diri sebagai generasi pembangun, maka kita harus membangun dengan cinta, dengan keberanian, dan dengan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa dibayar dengan uang. Tanah ibu pertiwi terlalu mahal untuk dijadikan barang dagangan.

Sudah saatnya Kendal berjalan di jalur baru, pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada bumi dan rakyatnya. Sebab yang kita perjuangkan bukan hanya ekonomi hari ini, tapi kehidupan besok pagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *