Oleh: H. Arief Budiman
(Ketua Bidang Dakwah PDPM Kendal 1990–1995)
(Alumni Fakultas Psikologi UMS Surakarta)
Dulu, kita pernah menyaksikan bagaimana bisnis wartel (warung telekomunikasi) berjaya di era 90-an. Ramai orang antri telepon, kirim faximile, atau menunggu panggilan keluarga dari luar kota. Sebagai wartawan yang bertugas di Kendal, tiap sore saya kirim berita ke kantor redaksi di Semarang menggunakan Faximile Telkom Weleri. Tapi begitu era HP datang, bisnis wartel perlahan hilang ditelan zaman.
Hari ini, fenomena yang mirip tengah terjadi — tapi skalanya jauh lebih besar. Bukan hanya alat komunikasi yang berubah, tapi cara manusia hidup, bekerja, dan belajar. Penyebabnya? AI (Artificial Intelligence), atau kecerdasan buatan.
Teknologi ini bukan sekadar tren. Ia adalah gelombang peradaban baru.
Di satu sisi, AI membawa banyak kemudahan. Belajar bisa di mana saja, bahkan langsung diajar oleh chatbot cerdas. Murid bisa bertanya apa pun dan dijawab detik itu juga. Bahkan ada aplikasi yang bisa memeriksa PR, membuat ringkasan buku, sampai menulis skripsi.
Tapi di sisi lain, juga mengkhawatirkan. Kalau semua bisa diajarkan oleh robot, lalu apa kabar guru-guru kita? Bagaimana nasib sekolah dan kampus yang belum siap beradaptasi? Apakah peran manusia akan digantikan?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Dan Muhammadiyah sebagai gerakan pendidikan harus menjawabnya sekarang — bukan nanti, agar tidak tergopoh kemudian.
Sejak awal, Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor pendidikan modern di Indonesia. KH Ahmad Dahlan sudah memulainya di awal abad ke-20. Maka, kalau hari ini muncul tantangan baru bernama AI, insyaallah Muhammadiyah tidak gentar. Tapi mungkin tidak boleh santai.
Kenapa? Karena gelombang AI bisa menggulung lembaga pendidikan yang tidak siap. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tidak boleh jadi tempat belajar yang ketinggalan zaman.
Kalau tidak cepat beradaptasi, bisa jadi murid-murid akan lebih memilih, Gemini, DeepSeek, dan ChatGPT, daripada guru mereka sendiri. Cucu saya yang baru kelas 5 SD, sudah berkawan dengan ChatGBT.
Apa yang Harus Disiapkan?
Pertama, harus disadari bahwa AI tidak bisa dicegah. Ia akan terus berkembang. Yang bisa dilakukan adalah menyiapkan diri untuk hidup berdampingan dengannya.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah perlu mulai:
Mengubah cara mengajar, dari ceramah satu arah menjadi diskusi dan pembelajaran aktif.
Menyiapkan guru yang tidak hanya bisa mengajar, tapi juga membimbing, menjadi teladan, dan menginspirasi.
Memasukkan literasi digital dan etika teknologi dalam kurikulum.
Mengembangkan platform pembelajaran sendiri yang bernuansa Islam.
Harus lebih extra membangun generasi muda yang tahu teknologi, yang tidak diperbudak teknologi. Yang akhlaknya tetap mulia meski hidup di tengah dunia digital.
Core value Muhammadiyah tetap relevan. Muhammadiyah tidak boleh kehilangan jati dirinya. Di tengah derasnya arus digital, tetap berpijak pada nilai-nilai Islam yang membumi.
Pendidikan Muhammadiyah tetap berpegang pada:
Tauhid sebagai landasan, bahwa semua ilmu dan teknologi tetap dalam bingkai keimanan.
Akhlak sebagai tujuan, karena AI tak bisa menanamkan adab.
Muhammadiyah memiliki sejarah pendidikan yang panjang sekaligus matang, dan para pendidik yang luar biasa—ini aset dakwah yang tak boleh dilupakan.
Muhammadiyah seperti sudah berjalan, tentu tidak hanya ingin mencetak anak-anak cerdas, tapi juga yang berjiwa Islami, beradab, dan siap menjadi pemimpin masa depan.
Seperti pelita di tengah malam, ke depan Muhammadiyah punya tugas besar: membawa cahaya di zaman yang penuh kecanggihan tapi rawan kehilangan arah.
Karena itu datangnya gelombang AI ini kita maknai sebagai tantangan yang membangkitkan. Mari buktikan bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan pernah bisa menggantikan ketulusan seorang guru, kehangatan nilai, dan kedalaman spiritualitas.
Muhammadiyah bisa memimpin zaman ini — kalau kita semua siap berubah dan bergerak.
Wallahua’lam.
Foto by : www.dope-review.com & SMA Muhammadiyah 1 Weleri