Sheila On 7, Soundtrack kehidupan dari SMP Sampai Jadi Bapak-Bapak

Di antara semak-semak nostalgia musik Indonesia, nama Sheila On 7 berdiri kokoh bak Tugu Jogja yang tak pernah tumbang diterpa angin zaman. Band asal Yogyakarta ini bukan cuma sekadar band, tapi bisa dibilang semacam fenomena pop kultural yang entah bagaimana caranya bisa akur di telinga tiga generasi sekaligus, milenial, generasi X, bahkan generasi Z yang katanya lebih suka lagu-lagu TikTok berbunyi dugem-dugem ciat-ciat.

Sheila On 7 lahir di akhir tahun 1990-an, sebuah masa ketika celana cutbray masih dianggap keren dan sinetron remaja belum terlalu banyak mengajarkan toxic relationship. Didirikan oleh sekelompok anak muda Jogja yang awalnya hanyalah proyek iseng-iseng berhadiah.

Formasi awal mereka terdiri dari Duta (vokal), Eross (gitar), Adam (bass), Sakti (gitar), dan Anton (drum). Nama “Sheila” diambil dari nama teman mereka, dan “On 7” konon kabarnya diambil dari skala 7 nada musik.

Di masa-masa awal kemunculannya, Sheila On 7 bukan band yang langsung disambut hangat. Banyak yang mencibir, menganggap mereka hanya band remaja musiman. Tapi Sheila On 7 tidak balas nyinyir. Mereka tahu, musik bukan tentang membalas, tapi tentang berkarya.

Dan benar saja. Seiring waktu, karya-karya mereka mulai bicara. Album demi album laku keras, konser selalu penuh, dan kritik mulai berubah jadi pujian. Orang-orang mulai sadar: Sheila On 7 bukan band ecek-ecek. Mereka punya musikalitas, punya kedewasaan, dan punya karakter.

Kalau Sheila On 7 bisa dijadikan minuman, mereka itu semacam teh manis anget, sederhana, tapi selalu cocok dinikmati kapan saja, bahkan saat hati lagi bocor alus. Lirik-lirik lagu mereka tak rumit. Tak ada metafora apalagi hiperbola yang berbelit, tak ada diksi njlimet khas penyair galau. Tapi justru di sanalah kekuatannya.

Coba saja dengarkan “Dan”, “Sephia”, “Anugerah Terindah”, atau “Melompat Lebih Tinggi”. Lirik-liriknya seperti teman curhat yang tidak menghakimi, tapi juga tidak terlalu bijak. Sederhana tapi jleb, ringan tapi menghantam ulu hati. Lirik dari Duta dan Eross ini memang seperti tukang sulap, tahu kapan harus bikin ketawa, dan tahu kapan harus bikin nangis di pojokan.

Berbicara soal musikalitas, Sheila On 7 bukanlah band yang sibuk pamer skill teknikal. Tapi mereka punya satu hal yang lebih mahal dari sekadar Teknik, rasa. Dan rasa itu bisa kita dengar dari bagaimana Eross memainkan gitarnya. Pria satu ini bisa bikin melodi gitar yang bukan cuma catchy, tapi juga punya emosi. Nggak perlu banyak solo ngegas, tapi sekali dipetik, langsung tahu: “Ah, ini pasti Eross.”

Kualitas aransemen mereka konsisten rapi dari album ke album. Tidak banyak efek digital atau auto-tune berlebihan. Mereka main musik seperti orang naik sepeda ontel, pelan, tenang, tapi pasti sampai tujuan.

Dari sisi vokalis, Nah, ini dia jantung dari Sheila On 7,  Duta. Seorang vokalis yang bukan cuma punya suara khas, tapi juga aura magnetis yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Duta ini seperti abang-abangan ideal: ganteng iya, sederhana iya, dan kalau lagi nyanyi, kita percaya dia memang mengalami sendiri apa yang dia nyanyikan.

Mimik wajahnya pas, tidak terlalu dramatis, tapi juga tidak datar. Saat di panggung, Duta seperti punya koneksi spiritual dengan penonton. Entah kenapa, lagu yang sudah kita dengar ratusan kali, tetap terasa segar kalau Duta yang menyanyikan.

Kini, para personel Sheila On 7 sudah mulai masuk usia kepala empat. Tapi anehnya, lagu-lagu mereka malah makin banyak didengar anak-anak Gen Z. Ini bukan semata karena nostalgia, tapi karena lagu-lagu mereka memang punya jiwa. Mereka tidak hanya membuat musik, tapi menghidupkan lagu. Mereka tidak hanya menciptakan lirik, tapi menyelipkan cerita hidup.

Sheila On 7 membuktikan bahwa musik yang jujur dan tulus tidak akan pernah ketinggalan zaman. Dan sampai kapan pun, lagu-lagu mereka akan terus jadi soundtrack hidup banyak orang: dari anak SMA yang baru patah hati, sampai bapak-bapak yang diam-diam masih hafal lirik “Kita”.

Sheila On 7 bukan sekadar band. Mereka adalah sejenis institusi budaya pop yang berhasil menjembatani zaman. Mereka tidak ikut-ikutan tren, tapi justru menciptakan tren mereka sendiri. Dan mungkin, itu sebabnya mereka tetap relevan. Karena mereka bukan hanya bermain musik, mereka menghidupkan musik.

Jadi kalau besok kamu dengar lagu “Dan” diputarkan di warung kopi, jangan heran kalau semua orang ikut nyanyi dari anak muda pakai hoodie, sampai bapak-bapak yang rambutnya sudah mulai mundur perlahan.

Karena, ya begitulah Sheila On 7. Tidak pernah memaksa untuk disukai, tapi entah kenapa, kok ya selalu dicintai.

* B. Chairil Anwar
Foto By: https://sheilaon7.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *